Kamis, 31 Oktober 2013

Bagaimana Strategi Menghadapi Banjir Kredit UMKM?

Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) akan mewajibkan seluruh bank umum menyalurkan kredit ke UMKM sekurang-kurangnya 20% dari total portofolio kreditnya pada akhir tahun 2018. Pemenuhan itu dilakukan secara bertahap, 5%, 10%, dan 15% pada tahun 2015, 2016, dan 2017 secara berturut-turut.
Belum lagi, mulai tahun 2015 merupakan tahun dimulainya implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang menghilangkan hambatan aliran barang, modal dan jasa antar negara-negara ASEAN. Hal itu tentu menambah persaingan dalam memperebutkan kredit UMKM.
Seandainya seluruh bank umum memenuhi kewajiban menyalurkan kredit kepada UMKM sebesar 20% pada tahun 2018, maka kredit sebesar Rp. 1.345 triliun akan diserap oleh sektor UMKM. Pada akhir tahun 2012, total kredit seluruh bank umum mencapai Rp. 2.252 triliun. Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan kredit sebesar 20% per tahun, maka pada tahun 2018 akan mencapai Rp. 6.726 triliun. Sedangkan besarnya kredit UMKM (setelah dilakukan redefinisi sesuai dengan ketentuan regulasi), besarnya baki kredit UMKM pada akhir tahun 2012 adalah Rp. 526 triliun. Dalam waktu lima tahun mendatang kredit UMKM tersebut akan tumbuh sekitar 2,5 kali.
Jumlah kredit UMKM saat ini dinikmati oleh sekitar 15,8 juta pelaku UMKM atau sekitar 28% dari total pelaku UMKM. Dari angka tersebut mengindikasikan bahwa kredit UMKM masih didominasi oleh kredit mikro, dengan rata-rata baki debet (average loan size) sebesar Rp. 32,6 juta per debitur. Jika trend kredit UMKM hingga 2018 masih difokuskan untuk segmen mikro dengan pertambahan average loan size sebesar 10% per tahun, maka pada tahun 2018 kredit UMKM bank umum diperkirakan akan menjangkau sekitar 23,3 juta pelaku UMKM atau meningkat 47%. Sedangkan porsi UMKM yang akan mendapatkan akses kredit dari bank umum dari sekitar 28% pada tahun 2012 akan meningkat menjadi sekitar 36% pada akhir tahun 2018. Adapun average loan size per debitur UMKM diperkirakan naik menjadi Rp. 57,8 juta. 
Bagaimana nasib BPR kedepan? Walahualam! Hanya Tuhan yang maha tahu. Jika BPR yang tersebar (scattered) harus bersaing dengan raksasa-raksasa bank umum yang resourceful, maka besar kemungkinan BPR akan ngos-ngosan. Untuk menghindari BPR kehabisan nafas dalam mengejar nasabah kredit, maka BPR harus punya strategi yang jitu. Misal, bermain pada niche market (bermain di ceruk pasar, seperti pasar yang bankable tetapi memiliki keterbatasan dalam mengakses bank umum), blue ocean strategy (bermain pada segmen pasar yang justru dihindari oleh bank umum, namun dengan keluwesannya BPR masih dapat mengelola risiko kredit dengan baik), dan yang terakhir melaku “coopetition” (“cooperation and competition” / bekerjasama dan bersaing untuk menghindari persaingan head to head).
Secara sederhana strategi “coopetition” sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh BPR, yaitu dengan pola linkage, baik secara executing, channeling maupun joint financing / sindikasi. Untuk pola linkage secara executing, ekspansi kredit akan sangat tergantung dari kapasitas kecukupan modal (CAR) BPR. Namun untuk ekspansi melalui cara channeling relatif tak terbatas. Sedangkan cara sindikasi diantara kedua cara tersebut.
Apapun pilihannya dalam ber-coopetition, BPR harus menyiapkan diri dari sekarang. Untuk menyerap kredit linkage secara executing yang besar dari bank umum, maka BPR setidaknya harus siap-siap menambah modal agar CAR-nya terjaga secara mencukupi untuk ekspansi kredit. Selain itu, BPR juga harus mampu menekan NPL yang acceptable bagi bank umum. Di sisi lain, bagi BPR yang memilih untuk menyerap kredit UMKM bank umum melalui channeling dan atau sindikasi, maka mulai saat ini sudah harus menyiapkan scoring tool untuk menyaring UMKM dengan baik dan agar nantinya telah teruji (proven).