Minggu, 10 November 2013

Lima Langkah Mendeteksi Dini LKM Bermasalah

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hampir seratus persen Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang bermasalah diawali oleh moral hazard, termasuk fraud di dalamnya, baik yang dilakukan oleh pemiliknya, pengurusnya ataupun pegawainya. Tak jarang kreditur yang memberikan kredit kepada LKM “kecolongan,” tiba-tiba saja mendapati LKM yang dibiayainya sudah dalam kondisi “kronis” dan sulit terselamatkan. Bagaimana cara mendeteksi LKM bermasalah secara lebih dini?
1.    Pastikan LKM selalu memenuhi covenants yang dituangkan kedalam perjanjian kredit (termasuk covenant LKM mengirimkan laporan yang dipersyaratkan oleh kreditur).
a.    Setiap pelanggaran terhadap satu covenant selalu dapat menjalar ke pelanggaran covenants yang lain yang ujung-ujungnya menurunkan kemampuan bayar LKM.
b.    Lakukan tindakan segera jika LKM melanggar covenant, karena jika sekali LKM diberikan toleransi maka besar kemungkinan pelanggaran akan terjadi lagi.
2.    Pastikan LKM selalu dalam kategori “investment grade” yang layak diberikan kredit, apapun metode risk scoring atau risk rating yang digunakan oleh kreditur.
a.    Jika kreditur menggunakan metode rating yang cukup komprehensif, dengan mengukur: profile risiko LKM (meliputi risiko kredit, likuiditas, pasar, operasional, hukum, stratejik, kepatuhan dan reputasi); penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance / GCG); rentabilitas yang berkesinambungan; dan kecukupan permodalan, maka pastikan semua nilai dari parameter penilaian tersebut selalu dipenuhi. Jika terdapat salah satu parameter yang tidak terpenuhi lagi, maka ukur dampak turunannya. Jika dampaknya cukup “membahayakan” dalam waktu dekat, maka lakukan tindakan segera.
b.     Jika kreditur menggunakan metode rating yang lebih sederhana, maka lakukan tindakan segera jika nilai rating LKM yang terkini merosot.
3.    Mendeteksi kredit fiktif –dari modus operandi yang sering dilakukan oknum LKM selama ini:
a.    Awasi trend kenaikan kredit bermasalah (Non Performing Loan / NPL). Jika konsisten naik dalam waktu 3 bulan berturut-turut, segera lakukan on the spot supervision di lapangan, hingga cross cek dengan debitur akhir.
b.    Perhatikan kenaikan rata-rata loan size (nilai pinjaman per nasabah). Perlu diwaspadai jika terjadi lonjakan rata-rata loan size, terutama jika disertai dengan penambahan jumlah nasabah / debitur baru dengan nilai kredit yang diberikan jauh di atas rata-rata loan size sebelumnya.
c.    Perhatikan pertambahan jumlah nasabah / debitur baru (new CIF) yang signifikan (melonjak cepat). Patut diwaspadai jika pertambahan new CIF signifikan dan profil nasabah barunya scattered (tersebar dan heterogen).
d.    Waspadai jika sebaran nasabah / debitur pada umumnya jauh dari lokasi kantor LKM berada / beroperasi.
e.    Waspadai pemberian kredit kepada karyawan LKM atau karyawan perusahaan yang satu group dengan LKM tersebut. Pemberian kredit kepada karyawan umumnya tidak dilengkapi dengan jaminan (kredit tanpa agunan). Pastikan kewajarannya dengan mengecek jumlah karyawan LKM atau group usaha dari LKM dan rata-rata pendapatan bulanannya (take home pay).
f.     Waspadai pemberian kredit kepada pihak tertentu dengan “meminjam” nama / identitas. Cek kesesuaian antara nama debitur dengan nama pemilik jaminan. Lakukan cross check di lapangan secara acak untuk memastikan kesesuaian profil nasabah.
g.    Waspadai pelaksanaan perpanjangan kredit (tanpa pelunasan terlebih dahulu); perubahan kontrak / perjanjian kredit dengan addendum (terutama perubahan struktur serta syarat dan ketentuan kreditnya); restrukturisasi kredit; dan penghapusan kredit. Jika cukup sering dilakukan, lakukan on the spot segera.
h.    Waspadai pemberian kredit dan collection pembayaran angsurannya dikerjasamakan dengan pihak ketiga, seperti melalui kelompok tertentu secara kolektif, melalui bendahara suatu lembaga, dan sebagainya. Mintakan data statistik profil lengkap nasabah dari LKM.
i.      Waspadai pemberian kredit dengan jaminan yang terlalu ringan, seperti jaminan yang hanya dalam bentuk kartu pegawai, kartu jamsostek, kartu pensiun, kartu ATM,  ataupun bentuk lain yang tidak memiliki nilai likuiditas, atau bahkan tanpa agunan sama sekali. Pastikan apakah LKM memiliki produk pembiayaan seperti itu?
j.      Hitung rasio antara jumlah petugas kredit dengan jumlah nasabah / debitur. Hitung rata-rata pertumbuhan portofolio kredit yang ditanganinya, termasuk rata-rata pertambahan jumlah nasabah. Jika pemberian kreditnya tidak menggunakan metode pembiayaan berkelompok (group lending), maka setiap pertumbuhan yang terlalu cepat melonjak dapat menjadi kewaspadaan kreditur.
k.    Cross check di lapangan antara profil petugas kredit (terutama lokasi tinggal dan lama bekerja) dengan sebaran lokasi nasabah / debiturnya. Jika sebaran lokasi nasabah banyak yang terlalu jauh dari lokasi tinggal atau dari lokasi kantor LKM (memerlukan waktu lebih dari 3 jam untuk menjangkaunya), maka patut diwaspadai.
l.      Waspadai kredit bukan dengan pola angsuran,  seperti balloon payment (pokok dibayar sekaligus pada saat jatuh tempo); kredit dengan angsuran “sesukanya” (seperti revolving loan); kredit “yarnen” (bayar pas panen), dan sebagainya diluar pola angsuran yang normal (pokok dan bunga dibayar maksimal setiap bulan atau kurang dari satu bulan). Semakin banyak pola kredit diluar pola angsuran normal, maka semakin potensial kredit untuk disalahgunakan.
m.   Waspadai pengadministrasian kredit secara  manual (diluar sistem informasi yang proven), seperti hanya dicatat dengan menggunakan excel, atau ditulis tangan / diketik, karena data tersebut mudah sekali diubah dan dipalsukan.
n.    Waspadai banyaknya persyaratan dokumen kredit yang tidak dipenuhi, mulai dari KTP hingga akta kepemilikan jaminan yang tidak / belum diserahkan / diterima / disimpan LKM, karena pemalsuan kredit banyak berawal dari sini.
4.    Moral hazard yang dilakukan okum LKM tidak saja pada pemberian kredit fiktif, tapi juga terjadi dari sisi kewajiban, seperti praktek bank dalam bank yang umum terjadi:
a.    Pengurus / pemilik LKM menerima simpanan dari deposan tetapi tidak dibukukan, dan uangnya dikelola sendiri oleh pengurus / pemilik LKM, sedangkan deposan tetap diberikan bukti setor “aspal (asli tapi palsu).” Untuk mendeteksi modus ini, cari informasi apakah petugas front-liner (teller / customer services / atau apapun namanya) memiliki “hubungan special” atau kedekatan tertentu dengan atasan / pengurus / pemilik? Jika terdeteksi ada “hubungan spesial,” maka perlu diwaspadai. Jika tidak, cek apakah pengurus / pemilik merupakan tokoh sentral yang sangat mendominasi (one man show) di LKM tersebut? Jika ya, maka waspadailah.
b.    Pengurus / pemilik LKM mencairkan simpanan nasabah dengan memalsukan transaksi. Lakukan dengan cara yang sama dengan di atas.
c.    Pengurus / pemilik membebani LKM untuk kepentingan pribadi atau grup usahanya. Untuk mendeteksi ini, pantau lonjakan biaya biaya tenaga kerja, biaya operasional, kenaikan aktiva tetap dan amortisasinya, ataupun pos rupa-rupa aktiva. Jika terjadi kenaikan yang signifikan dari bulan-bulan sebelumnya, maka lakukan ivestigasi lebih lanjut.
5.    Hal lain yang relatif agak sulit terdeteksi oleh radar pelaporan dan rating adalah potensi terjadinya konflik antara pemilik dan pengurus LKM. Untuk mendeteksi potensi terjadinya konflik, kreditur dapat mendeteksi dengan:
a.    Melihat latar belakang dan pengalaman pemilik. Semakin tidak memiliki latar belakang dan pengalaman di industri keuangan relatif semakin besar potensi untuk timbul konflik.  
b.    Seberapa sering pemilik terlibat dalam kegiatan operasional LKM, seperti ikut mengarahkan pengurus dalam memberikan kredit tertentu atau mendapatkan pinjaman dari pihak tertentu. Semakin sering terlibat dalam kegiatan operasional LKM, maka semakin besar konflik kepentingan terjadi.
c.     Jika pemilik LKM juga memiliki usaha lain maka kreditur juga perlu waspada terhadap kemungkinan timbulnya konflik dengan pengurus.
Uraian di atas tentu belumlah lengkap, dan baru bersifat kulit-kulitnya saja, karena masih diperlukan tools dan metode yang tepat untuk dapat mendeteksi dini secara efektif. Ya, ini baru awal permulaan!

Selasa, 05 November 2013

Menanti Rating Tool dan Pengawasan LKM yang Lebih Baik

Menarik sekali hasil kajian Biro Riset InfoBank (birI) yang dituangkan dalam buku “How To Manage BPR: Mempertahankan Kinerja Di Tengah Persaingan dan Era Pasar Terbuka” (2012), bahwa 100% kegagalan BPR terjadi karena moral hazard termasuk di dalamnya fraud. Inilah praktek-praktek yang menjadi modus operandi para “oknum” di tubuh BPR: a) menghindari pelanggaran batas minimum pemberian kredit (BMPK) dengan merekayasa pemberian kredit kepada pihak terkait ataupun pihak tidak terkait; b) rekayasa laporan baik yang disampaikan kepada regulator maupun kreditor; c) fraud, seperti pembuatan kredit fiktif, praktek bank dalam bank, rekayasa pembukuan (termasuk rekayasa biaya-biaya), dan sebagainya; d) mismanagement; dan e) adanya perselisihan internal, seperti pengurus dengan pemilik, direksi dengan komisaris, dan direksi dengan karyawan.
Sayangnya praktek-praktek tersebut di atas sering tidak terjaring dengan pendekatan penilaian tingkat kesehatan BPR. Sebagai contoh pada tahun 2008 terdapat BPR yang sebelumnya mendapatkan predikat “sehat” ternyata tiba-tiba bisa tumbang akibat permainan “akrobat” moral hazard sang pemilik yang belakangan diketahui melakukan praktek bank dalam bank, rekayasa BMPK, pembuatan kredit fiktif, pemalsuan pembukuan, dan seterusnya.
Mungkin saja alat untuk penilaian (rating tool) bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada umumnya secara berkala memang harus terus menerus disempurnakan. Namun di sisi lain, metode pengawasannya pun harus sejalan peningkatannya. Rating tool dan pengawasan seharusnya merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Jangan terkecoh dengan rating (pemeringkatan) yang dibuat oleh media massa yang bersifat promotif dan sedikit “entertaining” (menyenangkan), karena pemeringkatannya hanya menggunakan data pelaporan sesaat pada satu periode tertentu. Hal itu kurang menggambarkan keadaan suatu LKM secara utuh dan menyeluruh.
 
Pertanyaannya, jika rating tool dan pengawasan Bank Indonesia terhadap BPR yang selama ini sudah tergolong advance masih saja “kebobolan,” bagaimana dengan pengawasan LKM Lainnya, seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan sebagainya? Kita bisa menebak sendiri hasilnya. Faktanya, permasalahan moral hazard dan fraud KSP jumlahnya masih teramat tinggi dibandingkan dengan yang dialami BPR. Tidak jarang juga KSP yang pernah digadang-gadang dan diberikan berbagai penghargaan dari Pemerintah, sekarang tak lagi beroperasi.
Melalui perpindahan pengawasan BPR dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa keuangan (OJK), serta efektif berlakunya UU LKM (UU No. 1/2013), dan pemberlakuan UU Koperasi yang baru (UU No. 17/2012), yang semuanya akan dimulai pada awal tahun 2014, seharusnya dapat dijadikan momentum terbaik untuk melakukan perbaikan sistem rating dan pengawasan kepada lembaga keuangan mikro yang lebih akurat dan kredibel, khususnya untuk BPR, KSP dan LKM.
Dalam berbagai literatur tentang keuangan mikro, 1) Regulasi; 2) Sistem Rating dan Pengawasan; serta 3) Capacity Building merupakan tiga pilar utama untuk menjaga sustaibailitas industri keuangan mikro guna mendukung pencapaian target MDGs, khususnya untuk pengentasan kemiskinan melalui implementasi sistem keuangan inklusif dengan memperluas access to finance for the poor.