Menarik sekali hasil kajian Biro Riset InfoBank (birI) yang dituangkan dalam buku “How To Manage BPR: Mempertahankan Kinerja Di Tengah Persaingan dan Era Pasar Terbuka” (2012), bahwa 100% kegagalan BPR terjadi karena moral hazard termasuk di dalamnya fraud. Inilah praktek-praktek yang menjadi modus operandi para “oknum” di tubuh BPR: a) menghindari pelanggaran batas minimum pemberian kredit (BMPK) dengan merekayasa pemberian kredit kepada pihak terkait ataupun pihak tidak terkait; b) rekayasa laporan baik yang disampaikan kepada regulator maupun kreditor; c) fraud, seperti pembuatan kredit fiktif, praktek bank dalam bank, rekayasa pembukuan (termasuk rekayasa biaya-biaya), dan sebagainya; d) mismanagement; dan e) adanya perselisihan internal, seperti pengurus dengan pemilik, direksi dengan komisaris, dan direksi dengan karyawan.
Sayangnya praktek-praktek tersebut di atas sering tidak terjaring dengan pendekatan penilaian tingkat kesehatan BPR. Sebagai contoh pada tahun 2008 terdapat BPR yang sebelumnya mendapatkan predikat “sehat” ternyata tiba-tiba bisa tumbang akibat permainan “akrobat” moral hazard sang pemilik yang belakangan diketahui melakukan praktek bank dalam bank, rekayasa BMPK, pembuatan kredit fiktif, pemalsuan pembukuan, dan seterusnya.
Mungkin saja alat untuk penilaian (rating tool) bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada umumnya secara berkala memang harus terus menerus disempurnakan. Namun di sisi lain, metode pengawasannya pun harus sejalan peningkatannya. Rating tool dan pengawasan seharusnya merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Jangan terkecoh dengan rating (pemeringkatan) yang dibuat oleh media massa yang bersifat promotif dan sedikit “entertaining” (menyenangkan), karena pemeringkatannya hanya menggunakan data pelaporan sesaat pada satu periode tertentu. Hal itu kurang menggambarkan keadaan suatu LKM secara utuh dan menyeluruh.
Pertanyaannya, jika rating tool dan pengawasan Bank Indonesia terhadap BPR yang selama ini sudah tergolong advance masih saja “kebobolan,” bagaimana dengan pengawasan LKM Lainnya, seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan sebagainya? Kita bisa menebak sendiri hasilnya. Faktanya, permasalahan moral hazard dan fraud KSP jumlahnya masih teramat tinggi dibandingkan dengan yang dialami BPR. Tidak jarang juga KSP yang pernah digadang-gadang dan diberikan berbagai penghargaan dari Pemerintah, sekarang tak lagi beroperasi.
Melalui perpindahan pengawasan BPR dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa keuangan (OJK), serta efektif berlakunya UU LKM (UU No. 1/2013), dan pemberlakuan UU Koperasi yang baru (UU No. 17/2012), yang semuanya akan dimulai pada awal tahun 2014, seharusnya dapat dijadikan momentum terbaik untuk melakukan perbaikan sistem rating dan pengawasan kepada lembaga keuangan mikro yang lebih akurat dan kredibel, khususnya untuk BPR, KSP dan LKM.
Dalam berbagai literatur tentang keuangan mikro, 1) Regulasi; 2) Sistem Rating dan Pengawasan; serta 3) Capacity Building merupakan tiga pilar utama untuk menjaga sustaibailitas industri keuangan mikro guna mendukung pencapaian target MDGs, khususnya untuk pengentasan kemiskinan melalui implementasi sistem keuangan inklusif dengan memperluas access to finance for the poor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar