Jika kita melihat toko kelontong dengan nama “Alfamart”, “Indomaret”,
“7Eleven”, “CircleK” dan sejenisnya, di otak kita langsung terasosiasikan
dengan warung franchise atau waralaba.
Franchisee atau terwaralaba umumnya warga
masyarakat sebagai pemodal dan pengelolanya, sedangkan franchisor atau pewaralaba adalah wholeseller atau aggregator
dari berbagai item products serta menyediakan policy and procedure atau standar operasional dan prosedur (SOP) serta
modul-modul pelatihan bagi karyawan yang akan menjalankan outlet retailers tersebut.
Di situlah kerjasama mutual, wholeseller membutuhkan
outlet-outlet retailers yang banyak dan
luas untuk mendistribusikan produk-produknya hingga ke konsumen akhir, sedangkan
retailers membutuhkan pasokan produk yang kontinyu untuk menjaga kenyamanan
komsumen. Ujungnya adalah terjadi redistribusi pendapatan.
Bagaimana dengan
lembaga keuangan, mungkinkah sebuah lembaga keuangan diwaralabakan?
Kenapa tidak? Jika kita menilik system perbankan yang ada
saat ini, betapa masyarakat kita lebih menjadi obyek konglomerasi
lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non bank, yang pada umumnya dimiliki
oleh pemodal-pemodal asing. Lihat saja salah satu contoh bank yang dimiliki
konglomerat Singapura dengan leluasa bisa mengeruk keuntungan dari para pelaku
usaha mikro dan kecil hingga ke pelosok-pelosok. Hal ini terjadi karena
pendirian jaringan kantor bank umum relatif lebih mudah dibandingkan dengan
pendirian sebuah BPR.
Untuk menghindari ekspolitasi besar-besaran dari pasar finansial
Indonesia, tak salah jika kita belajar dari praktek-praktek perbankan yang
mengedepankan keadilan (fairness)
antara bank dengan masyarakat. Masyarakat tidak lagi hanya sebagai obyek,
tetapi juga bisa bertindak sebagai subyek yang juga menikmati keuntungan dari
penyelenggaraan bisnis bank.
Berdasarkan pengamatan dari 2 bank umum di Australia, yaitu
Bank Of Queensland (BOQ) dan Bendigo and Adelaide Bank (Bendigo Bank), keduanya
dapat dijadikan contoh dalam melaksanakan prinsip fairness. Keduanya adalah perusahaan public yang listed di
ASX. BOQ telah mengembangkan program Owner
Manager, dimana Branch Manager BOQ dapat bertindak sebagai pemilik cabang
tersebut. Kini 30% dari produktivitas BOQ disumbangkan dari program Owner Manager
tersebut. Alasan yang melandasi program tersebut adalah manajer cabang yang
umumnya berasal dari masyarakat setempat tidak lagi hanya sebagai pekerja,
tetapi juga sebagai pemilik sehingga akan lebih mencintai cabang bank yang
dioperasikannya. Selain itu, manajer yang juga sekaligus owner jauh lebih memahami masyarakat setempat, potensi pasar
setempat, dan bersedia untuk menjangkau daerah-daerah sulit dijangkau oleh
kantor pusat bank.
Sedikit berbeda dengan BOQ, tetapi memiliki esensi yang
sama, Bendigo Bank juga telah lama mengembangkan konsep Community Bank® Branch, dimana cabang dari Bendigo Bank dapat dimiliki
oleh masyarakat setempat yang hingga kini jumlahnya sudah mencapai 303 cabang
di Australia. Cabang dimiliki oleh masyarakat setempat dan diprioritaaskan untuk
membiayai masyarakat setempat, khususnya para pelaku usaha kecil menengah (UKM),
hasilnya pun lebih banyak dinikmati oleh masyarakat. Inilah cara untuk
memandirikan dan memajukan masyakarat di sana.
Bagaimana dengan Indonesia yang notabene “bukan” negara
kapitalis / liberal? Belum terlalu banyak dan belum terlalu nyata prinsip fairness di industri keuangan.
Masyarakat lebih banyak menjadi obyek industri keuangan yang terus “dihisap”
keuntungannya. Lihat saja, para pelaku usaha mikro yang dibiayai bertahun-tahun
oleh bank-bank yang membuka outlet di pelosok-pelosok masih saja “miskin”,
sementara para pemilik bank beserta para eksekutifnya mendapatkan keuntungan
yang sangat besar luar biasa! Lihat saja ukuran Net Interest Margin (NIM) mereka
yang melayani masyarakat mikro… Wow!
Bayangkan jika suatu ketika nanti, kantor cabang Danamon
Simpan Pinjam (DSP) di Pasar Kranji dimiliki oleh seluruh pedagang pasar
Kranji, BRI Unit di Pasar Ambal dimiliki oleh para pedagang di pasar Ambal, KCP
Bank Pundi di Payakumbuh dimiliki masyarakat setempat, ULaMM yang di Pasar Ulee Kareng dimiliki oleh para pedagang di pasar tersebut, dan seterusnya…. Semoga
waralaba lembaga keuangan Indonesia akan menjadi kenyataan untuk kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik lagi. Amin.