Sabtu, 28 Juni 2014

Waralaba Bank untuk Sebuah Fairness

Jika kita melihat toko kelontong dengan nama “Alfamart”, “Indomaret”, “7Eleven”, “CircleK” dan sejenisnya, di otak kita langsung terasosiasikan dengan warung franchise atau waralaba. Franchisee atau terwaralaba umumnya warga masyarakat sebagai pemodal dan pengelolanya, sedangkan franchisor atau pewaralaba adalah wholeseller atau aggregator dari berbagai item products serta menyediakan policy and procedure atau standar operasional dan prosedur (SOP) serta modul-modul pelatihan bagi karyawan yang akan menjalankan outlet retailers tersebut.

Di situlah kerjasama mutual, wholeseller membutuhkan outlet-outlet retailers  yang banyak dan luas untuk mendistribusikan produk-produknya hingga ke konsumen akhir, sedangkan retailers membutuhkan pasokan produk yang kontinyu untuk menjaga kenyamanan komsumen. Ujungnya adalah terjadi redistribusi pendapatan.

Bagaimana dengan lembaga keuangan, mungkinkah sebuah lembaga keuangan diwaralabakan?
Kenapa tidak? Jika kita menilik system perbankan yang ada saat ini, betapa masyarakat kita lebih menjadi obyek konglomerasi lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non bank, yang pada umumnya dimiliki oleh pemodal-pemodal asing. Lihat saja salah satu contoh bank yang dimiliki konglomerat Singapura dengan leluasa bisa mengeruk keuntungan dari para pelaku usaha mikro dan kecil hingga ke pelosok-pelosok. Hal ini terjadi karena pendirian jaringan kantor bank umum relatif lebih mudah dibandingkan dengan pendirian sebuah BPR.

Untuk menghindari ekspolitasi besar-besaran dari pasar finansial Indonesia, tak salah jika kita belajar dari praktek-praktek perbankan yang mengedepankan keadilan (fairness) antara bank dengan masyarakat. Masyarakat tidak lagi hanya sebagai obyek, tetapi juga bisa bertindak sebagai subyek yang juga menikmati keuntungan dari penyelenggaraan bisnis bank.

Berdasarkan pengamatan dari 2 bank umum di Australia, yaitu Bank Of Queensland (BOQ) dan Bendigo and Adelaide Bank (Bendigo Bank), keduanya dapat dijadikan contoh dalam melaksanakan prinsip fairness. Keduanya adalah perusahaan public yang listed di ASX. BOQ telah mengembangkan program Owner Manager, dimana Branch Manager BOQ dapat bertindak sebagai pemilik cabang tersebut. Kini 30% dari produktivitas BOQ disumbangkan dari program Owner Manager tersebut. Alasan yang melandasi program tersebut adalah manajer cabang yang umumnya berasal dari masyarakat setempat tidak lagi hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai pemilik sehingga akan lebih mencintai cabang bank yang dioperasikannya. Selain itu, manajer yang juga sekaligus owner jauh lebih memahami masyarakat setempat, potensi pasar setempat, dan bersedia untuk menjangkau daerah-daerah sulit dijangkau oleh kantor pusat bank.

Sedikit berbeda dengan BOQ, tetapi memiliki esensi yang sama, Bendigo Bank juga telah lama mengembangkan konsep Community Bank® Branch, dimana cabang dari Bendigo Bank dapat dimiliki oleh masyarakat setempat yang hingga kini jumlahnya sudah mencapai 303 cabang di Australia. Cabang dimiliki oleh masyarakat setempat dan diprioritaaskan untuk membiayai masyarakat setempat, khususnya para pelaku usaha kecil menengah (UKM), hasilnya pun lebih banyak dinikmati oleh masyarakat. Inilah cara untuk memandirikan dan memajukan masyakarat di sana.
Bagaimana dengan Indonesia yang notabene “bukan” negara kapitalis / liberal? Belum terlalu banyak dan belum terlalu nyata prinsip fairness di industri keuangan. Masyarakat lebih banyak menjadi obyek industri keuangan yang terus “dihisap” keuntungannya. Lihat saja, para pelaku usaha mikro yang dibiayai bertahun-tahun oleh bank-bank yang membuka outlet di pelosok-pelosok masih saja “miskin”, sementara para pemilik bank beserta para eksekutifnya mendapatkan keuntungan yang sangat besar luar biasa! Lihat saja ukuran Net Interest Margin (NIM) mereka yang melayani masyarakat mikro… Wow!


Bayangkan jika suatu ketika nanti, kantor cabang Danamon Simpan Pinjam (DSP) di Pasar Kranji dimiliki oleh seluruh pedagang pasar Kranji, BRI Unit di Pasar Ambal dimiliki oleh para pedagang di pasar Ambal, KCP Bank Pundi di Payakumbuh dimiliki masyarakat setempat, ULaMM yang di Pasar Ulee Kareng dimiliki oleh para pedagang di pasar tersebut, dan seterusnya…. Semoga waralaba lembaga keuangan Indonesia akan menjadi kenyataan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih baik lagi. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar