Sabtu, 07 September 2013

Jika Inflasi Kelewat Tinggi, Kualitas Kredit Mikro Kecil Pun Bisa Merosot


Siapa bilang kredit mikro kecil kebal terhadap tekanan perekonomian makro? Faktanya, jika inflasi naik kelewat tinggi maka Non Performing Loan (NPL) kredit mikro – kecil juga cenderung tertekan naik.

Memang perlu dikaji lebih lanjut, apakah kenaikan NPL kredit mikro – kecil tersebut disebabkan oleh merosotnya kemampuan pengembalian hutang, atau akibat adanya kenaikan tingkat suku bunga yang lebih tinggi, atau bisa jadi dua-duanya terjadi.
Misal, jika 30% dari pendapatan pelaku usaha mikro kecil dilakokasikan untuk membayar angsuran kredit, 50% untuk konsumsi, dan 20% untuk investasi atau menabung. Maka ketika inflasi naik 10%, dana yang dialokasikan untuk konsumsi menjadi 55% untuk mendapatkan barang konsumsi yang sama. Sedangkan alokasi untuk investasi juga naik menjadi 22% untuk mendapatkan nilai investasi yang sama. Dengan demikian, kemampuan bayar hutangnya menurun dari 30% menjadi 23%, atau merosot 23% dari kemampuan semula.
Belum lagi, jika bank atau lembaga keuangan yang melayani kredit mikro – kecil menaikan suku bunga kreditnya karena dorongan inflasi. Pastilah kemampuan para pelaku usaha mikro – kecil ini tambah merosot lagi.
Namun demikian, walaupun kemampuan mengangsurnya menurun tajam tetapi masih banyak para pelaku usaha mikro kecil yang tetap menjaga komitmennya dengan tetap membayar angsuran sesuai dengan kewajibannya. Umumnya, mereka rela untuk hidup prihatin dengan sedikit menurunkan konsumsinya. Ini salah satu yang menjadi ciri khas masyarakat berpenghasilan rendah yang terbiasa dengan gaya hidup sederhana sehingga tidak terlalu shock jika terjadi perubahan.
Alasan kedua mengapa mereka tetap disiplin membayar kewajibannya adalah ada rasa takut kehilangan agunan. Agunan yang mereka berikan kepada lembaga keuangan itu dibeli dari penghasilannya yang dialokasikan untuk investasi, sedikit demi sedikit hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Mereka tidak ingin hasil jerih payahnya lenyap begitu saja disita oleh lembaga keuangan gara-gara tidak bisa bayar hutang.
Terakhir, ada sebagian pelaku usaha mikro – kecil yang hidup di masyarakat yang taat terhadap nilai-nilai adat. Salah satunya adalah ketaatan dalam memenuhi kewajiban, termasuk kewajiban membayar hutang.
Semoga saja inflasi kali ini masih bisa terkendali….

Jumat, 06 September 2013

Hati-hati Dampak Kenaikan Tingkat Suku Bunga!

Kenaikan BI-Rate yang cenderung mendorong kenaikan tingkat suku bunga kredit pada umumnya, termasuk kredit mikro dan kecil, ternyata juga berpengaruh terhadap kenaikan kredit mikro – kecil yang bermasalah (Non Performing Loan / NPL).
Berdasarkan data 5 tahun ke belakang menunjukan bahwa setiap terjadinya kenaikan tingkat suku bunga mikro – kecil ternyata juga diikuti dengan kenaikan NPL, demikian sebaliknya. Kredit yang paling sensitif terhadap kenaikan suku bunga adalah kredit konsumtif, diikuti dengan kredit modal kerja dan kredit investasi.

Tetap waspada dan berhati-hati menghadapi kenaikan tingkat suku bunga acuan! Kredit mikro - kecil pun cukup sensitif, mereka juga merupakan bagian dari pelaku perekonomian makro.
Ingat, yang membuat kredit mikro kecil handal menghadapi tekanan ekonomi makro adalah karena kefleksibelannya, dimana ketika usaha yang dijalaninya kurang menguntungkan, mereka dengan mudah bisa switch ke usaha lainnya. Selain itu, mereka juga jauh lebih mudah melakukan recovery jika terjadi permasalahan dengan usahanya. Risiko kredit mikro - kecil relatif rendah lebih dikontribusikan dengan adanya penyebaran risiko yang lebih baik.
Jadi, lakukan terus cek dan ricek kemampuan usaha mikro membayar bunga dan pokok pinjaman. Terlebih, kenaikan tingkat suku bunga ini dilatarbelakangi dengan kenaikan tingkat inflasi yang tinggi, yang menyebabkan merosotnya kemampuan spending masyarakat, termasuk para pelaku usaha mikro - kecil.

Kamis, 05 September 2013

Suku Bunga Kredit Mikro – Kecil Pun Terdampak Tekanan Ekonomi Makro

Penyesuaian BI-Rate dari waktu ke waktu merupakan salah satu indikator acuan bagi perbankan dalam meresponse setiap terjadinya perubahan ekonomi. Penjaminan simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) umumnya juga mengacu pada tingkatan BI-Rate tersebut. Sama halnya dengan penetapan suku bunga oleh perbankan, BI-Rate masih menjadi referensi untuk menetapkan tingkat suku bunga, baik bunga simpanan maupun bunga kredit.
Usaha mikro – kecil yang selama ini dikenal kebal terhadap perubahan makro ekonomi sesungguhnya juga selalu terkena dampak kenaikan beban bunga kredit apabila BI-Rate juga dinaikan. Bedanya, bunga bagi usaha mikro – kecil pada umumnya bersifat tetap (fix rate) sehingga ketika BI-Rate naik atau turun tidak serta merta dilakukan penyesuaian suku bunga (repricing).
Namun demikian, dikarenakan dampak BI-Rate juga berpengaruh terhadap biaya dana yang digunakan untuk penyaluran kredit mikro – kecil, maka ketika BI-Rate berubah maka suku bunga kredit mikro – kecil yang baru juga dilakukan penyesuaian.

Dengan kata lain, cepat atau lambat, tekanan ekonomi makro yang menyebabkan terjadinya kenaikan suku bunga acuan juga akan berdampak pada peningkatan beban bunga bagi para pelaku usaha mikro – kecil. Walaupun demikian, masih perlu kita uji kembali, apakah kenaikan suku bunga bagi para pelaku usaha mikro – kecil juga berpengaruh pada menurunnya kemampuan membayar hutang?

Minggu, 01 September 2013

Pengaruh Perlambatan Ekonomi Terhadap Ekspansi Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan inflasi yang tinggi jauh dari target awal, ditambah dengan penurunan nilai Rupiah yang signifikan banyak diprediksikan akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit.  Gejala kenaikan inflasi berawal dari rencana kenaikan harga BBM, sedangkan pelemahan nilai tukar Rupiah diduga akibat melebarnya defisit neraca perdagangan, serta besarnya capital outflow dari pasar modal kita. Secara makro hal itu memang cukup mengkhawatirkan, tak sedikit para pelaku bisnis yang mengkhawatirkan terjadinya krisis ekonomi lagi.
Adakah pengaruh gonjang-ganjing ekonomi itu terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)? Ada, tetapi tidak signifikan dan cenderung sporadis, hanya untuk sektor-sektor tertentu yang terkait dengan ekspor-impor, baik input maupun outputnya.
Berdasarkan data series 10 tahun terakhir (2002 – 2012), memang tidak terlalu tampak adanya korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan kredit kepada UMKM secara umum maupun kredit UMKM yang disalurkan oleh BPR.

Perlambatan yang terjadi secara  bersama-sama antara perlambatan pertumbuhan ekonomi, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM secara umum dan BPR hanya sekali, yaitu pada tahun 2005. Ketika perekonomian sedikit melambat dengan pertumbuhan 5,5% dari yang sebelumnya 5,7%, pertumbuhan kredit UMKM melambat menjadi 15,6% dari tahun sebelumnya 30,9%. Bahkan, pertumbuhan kredit BPR minus 3,2% dari baki debet Kredit Yang Diberikan (KYD) sebesar Rp. 15,1 triliun pada akhir tahun 2004 turun menjadi Rp. 14,6 triliun.
Namun demikian, patut diduga penurunan baki debet KYD tersebut lebih dikarenakan adanya peluncuran Danamon Simpan Pinjam (DSP) yang ketika itu cukup menjadi ancaman bagi BPR, mengingat banyaknya SDM BPR yang “hijrah” ke DSP. Besar kemungkinan perlambatan itu bukan karena menurunnya permintaan atas kredit UMKM.
Kejadian serupa terjadi pada tahun 2009, dimana perekonomian melambat hingga pertumbuhannya mencapai 4,6% dari tahun sebelumnya sebesar 6%. Pertumbuhan kredit UMKM drop dari 26,1% pada tahun 2008 menjadi hanya 16,3% pada tahun 2009. Pertumbuhan KYD BPR juga mengalami perlambatan, dari tumbuh 23,7% pada tahun 2008 menjadi hanya tumbuh 10,2% pada tahun 2009 dengan ending KYD sebesar Rp. 28 triliun.
Tetapi perlu diingat, gonjang-ganjing ekonomi tahun 2008 yang menyeret grup usaha Tripanca dari Lampung membuat hampir seluruh bank umum menutup kran linkage kepada BPR. Bahkan, sebagian bank umum “memaksa” BPR untuk melakukan pelunasan dini. Walhasil, likuditas BPR tambah seret dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kredit UMKM. Beruntunglah, KYD BPR masih tetap bisa bertumbuh hingga 10%.
Dari gambaran tersebut, kita bisa simpulkan bahwa perlambatan pertumbuhan kredit UMKM bukan disebabkan adanya penurunan demand, tetapi lebih dikarenakan adanya turunan permasalahan makro yang berdampak pada permasalahan supply kredit UMKM. Semoga perlambatan ekonomi kali ini tidak membawa masalah lagi….