Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan inflasi yang tinggi jauh dari target awal, ditambah dengan penurunan nilai Rupiah yang signifikan banyak diprediksikan akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit. Gejala kenaikan inflasi berawal dari rencana kenaikan harga BBM, sedangkan pelemahan nilai tukar Rupiah diduga akibat melebarnya defisit neraca perdagangan, serta besarnya capital outflow dari pasar modal kita. Secara makro hal itu memang cukup mengkhawatirkan, tak sedikit para pelaku bisnis yang mengkhawatirkan terjadinya krisis ekonomi lagi.
Adakah pengaruh gonjang-ganjing ekonomi itu terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)? Ada, tetapi tidak signifikan dan cenderung sporadis, hanya untuk sektor-sektor tertentu yang terkait dengan ekspor-impor, baik input maupun outputnya.
Berdasarkan data series 10 tahun terakhir (2002 – 2012), memang tidak terlalu tampak adanya korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan kredit kepada UMKM secara umum maupun kredit UMKM yang disalurkan oleh BPR.
Perlambatan yang terjadi secara bersama-sama antara perlambatan pertumbuhan ekonomi, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM secara umum dan BPR hanya sekali, yaitu pada tahun 2005. Ketika perekonomian sedikit melambat dengan pertumbuhan 5,5% dari yang sebelumnya 5,7%, pertumbuhan kredit UMKM melambat menjadi 15,6% dari tahun sebelumnya 30,9%. Bahkan, pertumbuhan kredit BPR minus 3,2% dari baki debet Kredit Yang Diberikan (KYD) sebesar Rp. 15,1 triliun pada akhir tahun 2004 turun menjadi Rp. 14,6 triliun.
Namun demikian, patut diduga penurunan baki debet KYD tersebut lebih dikarenakan adanya peluncuran Danamon Simpan Pinjam (DSP) yang ketika itu cukup menjadi ancaman bagi BPR, mengingat banyaknya SDM BPR yang “hijrah” ke DSP. Besar kemungkinan perlambatan itu bukan karena menurunnya permintaan atas kredit UMKM.
Kejadian serupa terjadi pada tahun 2009, dimana perekonomian melambat hingga pertumbuhannya mencapai 4,6% dari tahun sebelumnya sebesar 6%. Pertumbuhan kredit UMKM drop dari 26,1% pada tahun 2008 menjadi hanya 16,3% pada tahun 2009. Pertumbuhan KYD BPR juga mengalami perlambatan, dari tumbuh 23,7% pada tahun 2008 menjadi hanya tumbuh 10,2% pada tahun 2009 dengan ending KYD sebesar Rp. 28 triliun.
Tetapi perlu diingat, gonjang-ganjing ekonomi tahun 2008 yang menyeret grup usaha Tripanca dari Lampung membuat hampir seluruh bank umum menutup kran linkage kepada BPR. Bahkan, sebagian bank umum “memaksa” BPR untuk melakukan pelunasan dini. Walhasil, likuditas BPR tambah seret dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kredit UMKM. Beruntunglah, KYD BPR masih tetap bisa bertumbuh hingga 10%.
Dari gambaran tersebut, kita bisa simpulkan bahwa perlambatan pertumbuhan kredit UMKM bukan disebabkan adanya penurunan demand, tetapi lebih dikarenakan adanya turunan permasalahan makro yang berdampak pada permasalahan supply kredit UMKM. Semoga perlambatan ekonomi kali ini tidak membawa masalah lagi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar