Sabtu, 05 April 2014

Mengapa Suku Bunga Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Sangat Tinggi?

 Masih banyak di antara kita yang bertanya-tanya mengapa suku bunga yang ditawarkan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM), termasuk diantaranya Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan LKM Lainnya, masih sangat tinggi. Bahkan ada pertanyaan setengah sinis, apa bedanya LKM dengan “lintah darat”? Ada juga yang mendramatisir dan sedikit mempolitisasi, dimana keberpihakan terhadap wong cilik (usaha mikro) –jika bunga mikro jauh lebih mahal daripada bunga korporat?

Ada 5 alasan mengapa suku bunga LKM relatif tinggi:

1.       Sumber dana LKM mahal.
Sebagian besar dana yang dipinjamkan oleh LKM kepada masyarakat mikro – kecil umumnya berbiaya tinggi. Contoh: LKM menerima pinjaman dari bank umum atau lembaga keuangan lain dengan nominal yang besar (misal 15%) –kemudian dipinjamkan kembali kepada usaha mikro kecil dalam pecahan yang kecil-kecil, sudah barang tentu bunganya akan lebih mahal (pasti jauh lebih besar dari 15%). Pertanyaan berikutnya, mengapa LKM harus pinjam dari bank umum atau lembaga keuangan lain? Karena secara regulasi LKM dibatasi dalam penghimpunan dana (kecuali BPR), dan banyak hal yang secara alamiah membatasi kemampuan LKM sendiri dalam menghimpun dana, seperti jumlah kantor cabang yang sedikit, tidak adanya penjaminan simpanan, tidak memiliki teknologi penunjang yang memadai, seperti ATM, on-line system, dan seterusnya.

2.       Biaya operasional LKM sangat tinggi secara persentase.
Nominal pinjaman yang diberikan oleh LKM relatif sangat kecil (namanya juga kredit mikro – kecil), sehingga sehingga banyak membutuhkan biaya operasional. Misal, jika biaya standar melayani satu nasabah peminjam (debitur) adalah sebesar Rp. 1 juta. Maka untuk melayani seorang debitur dengan nilai kredit sebesar Rp. 1 miliar –adalah Rp. 1 juta (secara persentase 0,1%). Tetapi jika total kredit Rp. 1 miliar dipecah menjadi kredit mikro – kecil yang disalurkan kepada 100 usaha mikro – kkecil dengan masing-masing kredit sebesar Rp. 10 juta, maka biaya operasionalnya sebesar Rp. 100 juta (yaitu Rp. 1 juta x 100 nasabah) –atau biaya operasional dalam persentase sebesar 10% (Rp. 100 juta / Rp. 1 miliar).

3.       Secara individual risiko kredit mikro – kecil lebih tinggi dibanding kredit besar.
Usaha mikro – kecil pada umumnya bersifat non formal, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki kolateral yang kuat secara hukum dan marketable, sehingga tidak sedikit LKM yang “berani” menanggung risiko karena lebih menggunakan pendekatan sosial budaya (socio-culture). Contoh, banyak masyarakat mikro yang memberikan surat tanah dalam bentuk girik, leter C, pethuk, dan sebagainya, bahkan pembiayaan-pembiayaan yang diberikan melalui pola tanggung renteng (group lending) tidak meminta kolateral dari nasabah.

Sedangkan kredit besar umumnya di-covered oleh berbagai jenis jaminan hingga tidak ada lagi sedikitpun celah risiko yang terbuka.

4.       LKM perlu menjaga kelangsungan hidup usaha.
Untuk menjaga agar LKM tetap dapat bertahan hidup dan usahanya berkelanjutan, maka LKM minimal harus mampu menutup biaya dana yang mahal + biaya operasional yang tinggi + biaya cadangan risiko yang tinggi. Jika LKM tidak lagi mampu menutup biaya-biaya itu, maka dipastikan LKM akan mengalami kerugian dan kebangkrutan dalam jangka yang sangat pendek.

Jika LKM banyak yang bangkrut dan tutup, lalu siapa lagi yang akan memberikan akses finansial bagi masyarakat mikro – kecil?

5.       LKM bukan lembaga sosial.
LKM adalah lembaga bisnis yang fokus melayani akses finansial kepada masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga harus mampu menghidupi dirinya sendiri dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Berbeda dengan lembaga sosial yang sangat tergantung dengan sumbangan para dermawan ataupun donor dan penyaluran sumbangannya bersifat bantuan untuk menyokong orang lain bertahan hidup sementara –bukan untuk menyokong usaha yang dapat menghidupi pelaku usaha mikro kecil.

Pertanyaan kritis mungkin timbul, mengapa bank-bank umum yang memiliki sumber dana murah dan memiliki biaya operasional yang rendah karena skala bisnisnya besar masih saja menetapkan bunga mahal bagi masyarakat mikro kecil? Terlebih, bank-bank umum itu selalu bangga menjadi juara dalam mencetak laba…. Mari kita tanyakan kepada penguasa, apakah mereka lebih suka membantu kaum duafa atau pemilik dana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar