Masih banyak di antara kita yang bertanya-tanya mengapa suku bunga yang
ditawarkan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM), termasuk diantaranya Koperasi
Simpan Pinjam (KSP), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan LKM Lainnya, masih
sangat tinggi. Bahkan ada pertanyaan setengah sinis, apa bedanya LKM dengan “lintah
darat”? Ada juga yang mendramatisir dan sedikit mempolitisasi, dimana
keberpihakan terhadap wong cilik (usaha mikro) –jika bunga mikro jauh lebih
mahal daripada bunga korporat?
Ada 5 alasan mengapa suku bunga LKM relatif tinggi:
1.
Sumber dana LKM mahal.
Sebagian besar dana yang dipinjamkan oleh LKM kepada
masyarakat mikro – kecil umumnya berbiaya tinggi. Contoh: LKM menerima pinjaman
dari bank umum atau lembaga keuangan lain dengan nominal yang besar (misal 15%)
–kemudian dipinjamkan kembali kepada usaha mikro kecil dalam pecahan yang
kecil-kecil, sudah barang tentu bunganya akan lebih mahal (pasti jauh lebih
besar dari 15%). Pertanyaan berikutnya, mengapa LKM harus pinjam dari bank umum
atau lembaga keuangan lain? Karena secara regulasi LKM dibatasi dalam
penghimpunan dana (kecuali BPR), dan banyak hal yang secara alamiah membatasi
kemampuan LKM sendiri dalam menghimpun dana, seperti jumlah kantor cabang yang
sedikit, tidak adanya penjaminan simpanan, tidak memiliki teknologi penunjang
yang memadai, seperti ATM, on-line system, dan seterusnya.
2.
Biaya operasional LKM sangat tinggi secara
persentase.
Nominal pinjaman yang diberikan oleh LKM relatif sangat
kecil (namanya juga kredit mikro – kecil), sehingga sehingga banyak membutuhkan
biaya operasional. Misal, jika biaya standar melayani satu nasabah peminjam
(debitur) adalah sebesar Rp. 1 juta. Maka untuk melayani seorang debitur dengan
nilai kredit sebesar Rp. 1 miliar –adalah Rp. 1 juta (secara persentase 0,1%).
Tetapi jika total kredit Rp. 1 miliar dipecah menjadi kredit mikro – kecil yang
disalurkan kepada 100 usaha mikro – kkecil dengan masing-masing kredit sebesar
Rp. 10 juta, maka biaya operasionalnya sebesar Rp. 100 juta (yaitu Rp. 1 juta x
100 nasabah) –atau biaya operasional dalam persentase sebesar 10% (Rp. 100 juta
/ Rp. 1 miliar).
3.
Secara individual risiko kredit mikro – kecil lebih
tinggi dibanding kredit besar.
Usaha mikro – kecil pada umumnya bersifat non formal,
dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki kolateral yang kuat secara hukum
dan marketable, sehingga tidak
sedikit LKM yang “berani” menanggung risiko karena lebih menggunakan pendekatan
sosial budaya (socio-culture). Contoh,
banyak masyarakat mikro yang memberikan surat tanah dalam bentuk girik, leter
C, pethuk, dan sebagainya, bahkan pembiayaan-pembiayaan yang diberikan melalui
pola tanggung renteng (group lending)
tidak meminta kolateral dari nasabah.
Sedangkan kredit besar umumnya di-covered oleh berbagai jenis jaminan hingga tidak ada lagi sedikitpun
celah risiko yang terbuka.
4.
LKM perlu menjaga kelangsungan hidup usaha.
Untuk menjaga agar LKM tetap dapat bertahan hidup dan usahanya berkelanjutan, maka LKM minimal harus mampu menutup biaya dana yang
mahal + biaya operasional yang tinggi + biaya cadangan risiko yang tinggi. Jika
LKM tidak lagi mampu menutup biaya-biaya itu, maka dipastikan LKM akan
mengalami kerugian dan kebangkrutan dalam jangka yang sangat pendek.
Jika LKM banyak yang bangkrut dan tutup, lalu siapa lagi
yang akan memberikan akses finansial bagi masyarakat mikro – kecil?
5.
LKM bukan lembaga sosial.
LKM adalah lembaga bisnis yang fokus melayani akses finansial
kepada masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga harus mampu menghidupi
dirinya sendiri dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Berbeda dengan lembaga sosial
yang sangat tergantung dengan sumbangan para dermawan ataupun donor dan
penyaluran sumbangannya bersifat bantuan untuk menyokong orang lain bertahan
hidup sementara –bukan untuk menyokong usaha yang dapat menghidupi pelaku usaha
mikro kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar