Minggu, 06 April 2014

Apex LKM, Indah Dibayangkan dan Enak Didiskusikan, Tapi Mengapa Susah Dijalankan?

Apex-LKM sering didefinisikan secara sederhana sebagai lembaga pengayom yang memberikan layanan khusus bagi LKM.

Sudah cukup lama dan cukup banyak kita berdiskusi tentang Apex-LKM di Indonesia karena jumlah LKM di Indonesia yang begitu masiv. Bahkan tidak sedikit diantara kita yang belajar tentang Apex Micro Finance Institution (MFIs) dari negara lain. Hingga kini, tidak juga sedikit lembaga yang telah memproklamirkan dirinya sebagai lembaga apex, walaupun belum sesempurna yang didiskusikan sehari-hari. Apa yang membuat implementasi Apex LKM di  Indonesia begitu “alot”?


Bandingkan dengan dua Apex Bank di Jepang, yaitu Norinchunkin Bank (sudah berumur lebih dari 90 tahun) dan Shinkin Central Bank (berumur lebih dari 63 tahun). Norinchunkin adalah lembaga keuangan berbasis koperasi  yang dimiliki oleh anggotanya, yaitu koperasi pertanian, koperasi perikanan, koperasi kehutanan, dan koperasi-koperasi lain yang terkait dengan pertanian, perikanan dan kehutanan –yang jumlahnya 3.808 (per September 2013).  Kegiatan utamanya hanya melayani jasa financial bagi anggotanya.

Sedangkan Shinkin Central Bank adalah bank sentral bagi koperasi simpan pinjam (shinkin bank) yang beroperasi secara regional dan khusus melayani usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di wilayah tertentu. Bank sentral ini juga dimiliki oleh anggotanya (shinkin banks) dan kegiatan utamanya hanya memberikan layanan finansial kepada anggotanya, sebanyak 268 shinkin banks.

Apex LKM di Indonesia
Belum terwujudnya Apex LKM di Indonesia lebih dikarenakan belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan – kepentingan – dan regulasi. Sebagai contoh, Bank Indonesia telah mengeluarkan Generic Model Apex BPR (yang bersifat tidak mengikat) dan telah mendorong BPD-BPD untuk menjadi Regional Champion Bank sekaligus menjadi apex bagi BPR-BPR yang berada di dalam satu propinsi. Namun dalam implementasinya belum menunjukan hasil yang maksimal sesuai dengan harapan Generic Model –nya, dimana Lembaga Apex  diharapkan dapat melakukan 3 fungsi utama: 1) pooled of funds; 2) penyedia likuiditas dan kredit linkage bagi BPR; dan 3) bantuan teknis (technical assistance). Belum maksimalnya implementasi Apex BPR dengan BPD setempat dikarenakan adanya “benturan kepentingan” dalam memperebutkan segmen pasar mikro – kecil.

Apex BPR yang diinisiasi sendiri oleh BPR-BPR dengan bekerjasama dengan Bank Andara –atau disebut sebagai ABB (Andara Bersama BPR) yang kini berada di DKI Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) –masih lebih fokus pada pengelolaan dana pooled of funds dan penyediaan dana likuiditas. Technical assistance masih lebih banyak berbentuk pelatihan BPR, daripada penyelenggaraan pengembangan dan pemasaran produk bersama, dan ataupun pemanfaatan infrastruktur bersama untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih baik bagi seluruh anggotanya.

Lambatnya implementasi Apex BPR yang mendekati ideal, dimana lembaga apex dapat dimiliki oleh BPR dan kegiatan usahanya lebih banyak melayani BPR karena belum adanya regulasi yang menjadi landasan. Secara regulasi BPR hingga saat ini hanya diperbolehkan menghimpun dana dan menyalurkannya dalam bentuk pemberian kredit, sehingga tidak dimungkinkan BPR memiliki saham di lembaga lain, termasuk apex bank untuk BPR.

Padahal, jika BPR dapat memiliki Bank Apex BPR sendiri, dan lembaga tersebut beroperasi seperti Norinchunkin Bank atau Sinkin Central Bank seperti di Jepang, maka dengan asumsi seluruh BPR anggota hanya diperbolehkan menempatkan dan menerima dana pinjaman dari Bank Apex terserbut –setidaknya  Bank Apex BPR dapat mengelola dana simpanan dari BPR sebesar Rp. 15,2 triliun (per Januari 2014) –yang selama ini disimpan berpencar-pencar di banyak bank umum dalam bentuk (Aktiva Antar Bank). Di sisi lain, Bank Apex tersebut juga berpotensi dapat menyalurkan kredit  kepada BPR mencapai Rp. 12,76 triliun (per Jan 2014), yang pada akhirnya keuntungannya akan kembali kepada BPR lagi dalam bentuk dividen atau benefit lainnya. Lebih dari itu, dengan bergabungnya BPR kedalam satu lembaga apex tentu penghimpunan dana pihak ketiga juga akan lebih dahsyat lagi –melalui penyediaan fasilitas teknologi dan pemasaran bersama.

Untuk merealisasikan Bank Apex BPR yang ideal tersebut tentu ada sejumlah pekerjaan rumah yag harus dibereskan terlebih dahulu, seperti regulasi, infrastruktur sebuah lembaga apex, serta semangat kebersamaan antar pelaku industri BPR –sebagaimana yang menjadi slogan Norinchunkin Bank “one for all, all for one”.

Apex Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
IKSP (Induk Koperasi Simpan Pinjam) yang dimiliki oleh anggotanya (KSP-KSP) sudah mendekati ideal. Namun, IKSP justru kehilangan prinsip “one for all, all for one” dari sebuah lembaga apex. IKSP tidak mampu mewajibkan seluruh KSP anggotanya untuk menempatkan excess liquidity di IKSP, dan sebaliknya IKSP juga tidak selalu mampu menyediakan dana likuiditas bagi setiap KSP anggota yang memerlukannya. Mengapa hal ini terjadi?

KSP anggota pada umumnya lebih membutuhkan likuiditas dari IKSP –mengingat kemampuan KSP dalam memobilisasi dana dari anggotanya sangat terbatas. Maklum, anggota KSP masih lebih suka menempatkan dananya di bank umum (karena lebih aman dan banyak fasilitasnya) –sedangkan untuk mendapatkan pinjaman lebih suka ke KSP (karena lebih longgar persyaratannya). Di sisi lain, IKSP tidak memiliki kecukupan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas KSP anggotanya. Walhasil, KSP mencari sendiri sumber pendanaan sendiri, baik dari bank umum ataupun lembaga keuangan lainnya.
Ketika IKSP juga mendapatkan sumber dana dari bank umum atau lembaga keuangan lainnya, maka sudah dipastikan pinjaman yang akan diberikan kepada KSP anggota akan jauh lebih mahal ketimbang KSP mengakses langsung ke bank umum atau lembaga keuangan lainnya tersebut.

Kini, IKSP akan terus kehilangan arah (disorientasi) –dan cenderung akan mati suri, terlebih ketika IKSP harus bersaing dengan badan layanan umum (BLU) LPDB (Lembaga Pengeloloa Dana Bergulir) Kementerian Koperasi & UKM. LPDB ssebagai penyalur dana “bersubsidi” banyak memberikan pinjaman kepada KSP-KSP, baik anggota IKSP maupun bukan anggota –dengan suku bunga subsidi yang pasti jauh lebih murah dari pinjaman IKSP.
Sekali lagi, keberadaan Apex KSP –seperti halnya Shinkin Central Bank di Jepang seharusnya mendapat dukungan dari Pemerintah alias harus ada political will yang kuat. Keberadaan Shinkin Central Bank bahkan diregulasi dengan undang-undang tersendiri sejak tahun 1950 –dan diawasi oleh Financial Services Authority (semacam OJK di Indonesia).  

Sebenarnya belum ada kata terlambat bagi Pemerintah untuk membenahi sistem Apex KSP. Katakanlah IKSP ditunjuk oleh Pemerintah sebagai Apex KSP –dengan regulasi khusus. Untuk memperoleh sumber pendanaan yang murah, IKSP dapat menerbitkan obligasi dengan stanby buyer LPDB. Melalui penerbitan obligasi itulah, IKSP juga dituntut professional dengan harus menjaga kinerjanya minimal pada posisi “investment grade”.  

Dengan demikian, IKSP tidak lagi harus bersaing tidak sehat dengan LPDB. Sedangkan LPDB seharusnya tidak lagi diperkenankan membiayai KSP secara langsung, tetapi difokuskan untuk membiayai koperasi Non KSP.

Semoga Pemerintahan baru yang dihasilkan Pemilu tahun 2014 ini memiliki political will yang kuat untuk memajukan industri lembaga keuangan mikro (LKM) –guna memberikan akses yang lebih luas lagi bagi masyarakat berpenghasilan rendah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar