Apex-LKM sering didefinisikan secara sederhana sebagai
lembaga pengayom yang memberikan layanan khusus bagi LKM.
Sudah cukup lama dan cukup banyak kita berdiskusi tentang
Apex-LKM di Indonesia karena jumlah LKM di Indonesia yang begitu masiv. Bahkan
tidak sedikit diantara kita yang belajar tentang Apex Micro Finance Institution
(MFIs) dari negara lain. Hingga kini, tidak juga sedikit lembaga yang telah
memproklamirkan dirinya sebagai lembaga apex, walaupun belum sesempurna yang
didiskusikan sehari-hari. Apa yang membuat implementasi Apex LKM di Indonesia begitu “alot”?
Bandingkan dengan dua Apex Bank di Jepang, yaitu
Norinchunkin Bank (sudah berumur lebih dari 90 tahun) dan Shinkin Central Bank
(berumur lebih dari 63 tahun). Norinchunkin adalah lembaga keuangan berbasis
koperasi yang dimiliki oleh anggotanya,
yaitu koperasi pertanian, koperasi perikanan, koperasi kehutanan, dan
koperasi-koperasi lain yang terkait dengan pertanian, perikanan dan kehutanan
–yang jumlahnya 3.808 (per September 2013).
Kegiatan utamanya hanya melayani jasa financial bagi anggotanya.
Sedangkan Shinkin Central Bank adalah bank sentral bagi
koperasi simpan pinjam (shinkin bank) yang beroperasi secara regional dan
khusus melayani usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di wilayah tertentu. Bank
sentral ini juga dimiliki oleh anggotanya (shinkin banks) dan kegiatan utamanya
hanya memberikan layanan finansial kepada anggotanya, sebanyak 268 shinkin banks.
Apex LKM di Indonesia
Belum terwujudnya Apex LKM di Indonesia lebih dikarenakan
belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan – kepentingan – dan regulasi.
Sebagai contoh, Bank Indonesia telah mengeluarkan Generic Model Apex BPR (yang
bersifat tidak mengikat) dan telah mendorong BPD-BPD untuk menjadi Regional
Champion Bank sekaligus menjadi apex bagi BPR-BPR yang berada di dalam satu
propinsi. Namun dalam implementasinya belum menunjukan hasil yang maksimal
sesuai dengan harapan Generic Model –nya, dimana Lembaga Apex diharapkan dapat melakukan 3 fungsi utama: 1)
pooled of funds; 2) penyedia
likuiditas dan kredit linkage bagi
BPR; dan 3) bantuan teknis (technical
assistance). Belum maksimalnya implementasi Apex BPR dengan BPD setempat
dikarenakan adanya “benturan kepentingan” dalam memperebutkan segmen pasar
mikro – kecil.
Apex BPR yang diinisiasi sendiri oleh BPR-BPR dengan
bekerjasama dengan Bank Andara –atau disebut sebagai ABB (Andara Bersama BPR)
yang kini berada di DKI Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) –masih
lebih fokus pada pengelolaan dana pooled
of funds dan penyediaan dana likuiditas. Technical
assistance masih lebih banyak berbentuk pelatihan BPR, daripada
penyelenggaraan pengembangan dan pemasaran produk bersama, dan ataupun
pemanfaatan infrastruktur bersama untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih
baik bagi seluruh anggotanya.
Lambatnya implementasi Apex BPR yang mendekati ideal, dimana
lembaga apex dapat dimiliki oleh BPR dan kegiatan usahanya lebih banyak
melayani BPR karena belum adanya regulasi yang menjadi landasan. Secara
regulasi BPR hingga saat ini hanya diperbolehkan menghimpun dana dan
menyalurkannya dalam bentuk pemberian kredit, sehingga tidak dimungkinkan BPR
memiliki saham di lembaga lain, termasuk apex bank untuk BPR.
Padahal, jika BPR dapat memiliki Bank Apex BPR sendiri, dan
lembaga tersebut beroperasi seperti Norinchunkin Bank atau Sinkin Central Bank
seperti di Jepang, maka dengan asumsi seluruh BPR anggota hanya diperbolehkan
menempatkan dan menerima dana pinjaman dari Bank Apex terserbut –setidaknya Bank Apex BPR dapat mengelola dana simpanan
dari BPR sebesar Rp. 15,2 triliun (per Januari 2014) –yang selama ini disimpan
berpencar-pencar di banyak bank umum dalam bentuk (Aktiva Antar Bank). Di sisi
lain, Bank Apex tersebut juga berpotensi dapat menyalurkan kredit kepada BPR mencapai Rp. 12,76 triliun (per Jan
2014), yang pada akhirnya keuntungannya akan kembali kepada BPR lagi dalam
bentuk dividen atau benefit lainnya. Lebih
dari itu, dengan bergabungnya BPR kedalam satu lembaga apex tentu penghimpunan
dana pihak ketiga juga akan lebih dahsyat lagi –melalui penyediaan fasilitas teknologi
dan pemasaran bersama.
Untuk merealisasikan Bank Apex BPR yang ideal tersebut tentu
ada sejumlah pekerjaan rumah yag harus dibereskan terlebih dahulu, seperti
regulasi, infrastruktur sebuah lembaga apex, serta semangat kebersamaan antar
pelaku industri BPR –sebagaimana yang menjadi slogan Norinchunkin Bank “one for all, all for one”.
Apex Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
IKSP (Induk Koperasi Simpan Pinjam) yang dimiliki oleh anggotanya
(KSP-KSP) sudah mendekati ideal. Namun, IKSP justru kehilangan prinsip “one for all, all for one” dari sebuah
lembaga apex. IKSP tidak mampu mewajibkan seluruh KSP anggotanya untuk
menempatkan excess liquidity di IKSP,
dan sebaliknya IKSP juga tidak selalu mampu menyediakan dana likuiditas bagi setiap
KSP anggota yang memerlukannya. Mengapa hal ini terjadi?
KSP anggota pada umumnya lebih membutuhkan likuiditas dari
IKSP –mengingat kemampuan KSP dalam memobilisasi dana dari anggotanya sangat
terbatas. Maklum, anggota KSP masih lebih suka menempatkan dananya di bank umum
(karena lebih aman dan banyak fasilitasnya) –sedangkan untuk mendapatkan
pinjaman lebih suka ke KSP (karena lebih longgar persyaratannya). Di sisi lain,
IKSP tidak memiliki kecukupan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas KSP
anggotanya. Walhasil, KSP mencari sendiri sumber pendanaan sendiri, baik dari
bank umum ataupun lembaga keuangan lainnya.
Ketika IKSP juga mendapatkan sumber dana dari bank umum atau
lembaga keuangan lainnya, maka sudah dipastikan pinjaman yang akan diberikan
kepada KSP anggota akan jauh lebih mahal ketimbang KSP mengakses langsung ke
bank umum atau lembaga keuangan lainnya tersebut.
Kini, IKSP akan terus kehilangan arah (disorientasi) –dan cenderung
akan mati suri, terlebih ketika IKSP harus bersaing dengan badan layanan umum
(BLU) LPDB (Lembaga Pengeloloa Dana Bergulir) Kementerian Koperasi & UKM. LPDB
ssebagai penyalur dana “bersubsidi” banyak memberikan pinjaman kepada KSP-KSP,
baik anggota IKSP maupun bukan anggota –dengan suku bunga subsidi yang pasti
jauh lebih murah dari pinjaman IKSP.
Sekali lagi, keberadaan Apex KSP –seperti halnya Shinkin
Central Bank di Jepang seharusnya mendapat dukungan dari Pemerintah alias harus
ada political will yang kuat.
Keberadaan Shinkin Central Bank bahkan diregulasi dengan undang-undang
tersendiri sejak tahun 1950 –dan diawasi oleh Financial Services Authority
(semacam OJK di Indonesia).
Sebenarnya belum ada
kata terlambat bagi Pemerintah untuk membenahi sistem Apex KSP. Katakanlah IKSP
ditunjuk oleh Pemerintah sebagai Apex KSP –dengan regulasi khusus. Untuk
memperoleh sumber pendanaan yang murah, IKSP dapat menerbitkan obligasi dengan stanby buyer LPDB. Melalui penerbitan
obligasi itulah, IKSP juga dituntut professional dengan harus menjaga
kinerjanya minimal pada posisi “investment
grade”.
Dengan demikian, IKSP tidak lagi harus bersaing tidak sehat dengan
LPDB. Sedangkan LPDB seharusnya tidak lagi diperkenankan membiayai KSP secara
langsung, tetapi difokuskan untuk membiayai koperasi Non KSP.
Semoga Pemerintahan baru yang dihasilkan Pemilu tahun 2014 ini memiliki political will yang kuat untuk memajukan industri lembaga keuangan mikro (LKM) –guna memberikan akses yang lebih luas lagi bagi masyarakat berpenghasilan rendah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar