Minggu, 04 Mei 2014

KSP oh KSP.....!!

Merujuk pada UU Perkoperasian yang  terbaru (UU No 17/2012), keberadaan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) rupanya akan menjadi istimewa, karena setidaknya aka nada 2 lembaga baru yang menyertainya. Pertama adalah dimungkinkannya adanya Lembaga Penjamin Simpanan KSP dan kedua akan dibentuknya Lembaga Pengawasan KSP. Tentu keistimewaan itu harus menjadi pemicu bagi KSP untuk terus maju dan profesional.

Mungkin Pemerintah bersama OJK saat ini sedang melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dalam perumusan Peraturan Pemerintah beserta perangkat turunannya, mengingat LKM yang berbadan usaha Koperasi juga memiliki kegiatan utama yang tidak berbeda dengan KSP.

Mengingat bank-bank umum juga didorong untuk melayani sektor UMKM melalui PBI No. 14/22/PBI/2012, dimana minimal portofolio kreditnya harus 20% untuk UMKM terhitung sejak tahun 2018 nanti, maka pertanyaannya apakah masih ada prospek baik bagi KSP atau LKM nanti? Belum lagi dengan diterapkannya konsep bank tanpa cabang (branchless banking) yang  berbasis teknologi, masihkah KSP atau LKM mampu bersaing dengan bank umum?

Hasil observasi dari beberapa praktisi perkoperasian, mereka masih memiliki optimisme untuk berkembang mengingat pasar UMKM masih sangat besar dan juga terus tumbuh dan berkembang. Namun demikian, mereka juga memiliki berbagai strategi tersendiri untuk menghadapi persaingan dengan bank umum.

Bahkan yang lebih menarik, saat ini mulai banyak KSP yang didirikan secara professional –yang didukung dengan system dan SDM yang memadai justru disiapkan untuk bekerjasama dengan bank-bank umum dalam rangka penyaluran kredit secara channeling. Dengan kata lain, KSP-KSP itu didirikan memang untuk mengais fee based income dari kerjasama dengan bank umum. Wow! Why not daripada menanggung risiko sendiri dan harus bermodal besar. Kedepan, KSP-KSP semacam ini akan banyak dicari oleh bank-bank umum untuk ekspansi kredit UMKM sekaligus mengalihkan beban belanja modal (capex) dan biaya operasional (opex) –mengingat standar operasional bank jauh lebih complicated dan mahal.

Jadi, kini saatnya untuk membangun KSP yang professional dan sehat untuk membantu bank-bank umum menjangkau UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah…

Kamis, 01 Mei 2014

Memilih Alternatif Delivery Channel untuk Merebut Pasar UMKM

Menyambung tulisan “BagaimanaStrategi Menghadapi Banjir Kredit UMKM?” (31 Oktober 2013), dimana untuk memenuhi kewajiban yang tertuang dalam PBI No. 14/22/PBI/2012 bank-bank umum selain dapat membangun sendiri jaringan layanan mikro-kecil juga dapat melakukan “coopetition” dengan BPR dan atau lembaga keuangan mikro lainnya. Alternatif mana yang paling tepat untuk memenuhi kewajiban itu?


Berikut ini perkiraan-perkiraan yang dari beberapa sumber yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan alternatif mana yang paling pas dengan lembaga kita.


Membangun Unit Layanan Mikro-Kecil Sendiri
Kerjasama Linkage dengan BPR atau LKM Lainnya
Pola Executing
Pola Channeling
Pola Joint Financing
Kebutuhan Investasi (Capital Expenditure / CAPEX)
Untuk membangun outlet lengkap dengan sarana dan prasarananya berkisar antara Rp. 150 – 250 juta
Tidak perlu Capex
Tidak perlu Capex
Tidak perlu Capex
Kebutuhan tambahan biaya operasional (OPEX) per outlet
·     Biaya Tenaga Kerja (BTK) untuk 5 – 7 orang per outlet berkisar Rp. 35 – 45 juta per bulan.
·     Sewa kantor, utilitas dan aktivitas berkisar Rp. 25 – 35 juta per bulan.
Tidak perlu Opex tambahan (cukup ditangani oleh unit kerja kredit yang ada)
Perlu pembentukan unit kerja khusus untuk memastikan kebenaran data, proses analisa dan persetujuan kredit, monitoring, dan pembagian fee, dengan perkiraan biaya tambahan sebesar Rp. 60 – 100 juta per bulan.
Tidak perlu pembentukan unit kerja khusus, tetapi perlu penambahan SDM untuk percepatan proses agar sejalan dengan waktu layanan yang dilakukan oleh BPR atau LKM Lainnya. Perkiraan tambahan Opex sebesar Rp. 30 – 50 juta per bulan.
Suku bunga kredit
30% - 36% pa. eff.
12%  – 14% pa. eff.
30% - 36% pa. eff.
24% - 30% pa. eff.
Fee keagenan
Tidak ada
Tidak ada
5% - 7%
4% - 6%
Kapasitas
Rp. 8 – 10 miliar
Tak terbatas
Tergantung kapasitas BPR / LKM Mitra
Tergantung kapasitas BPR / LKM Mitra
Kelebihan
Pendapatan lebih besar

Pertumbuhan portofolio kredit lebih cepat
Biaya opex relatifrendah
Biaya opex relative rendah
Kekurangan
Harus dilakukan secara massal, dengan Capex dan Opex yang mahal dan membutuhkan banyak SDM.
Pendapatan bunga kecil
Tergantung dengan BPR / LKM Mitra
Tergantung dengan BPR / LKM Mitra

Dari perbandingan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, untuk pengembangan outlet layanan mikro-kecil lebih tepat dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan yang memiliki cukup dana –untuk memenuhi kebutuhan Capex dan Opex.

Untuk Linkage dengan pola Executing sangat tepat bagi bank umum atau lembaga pembiayaan yang memiliki sumber pendanaan dengan biaya rendah mengingat lending rate-nya relatif rendah. Jika biaya dana yang digunakan relative tinggi maka spread margin atau net interest margin (NIM) nya akan sangat tipis sehingga membutuhkan volume yang sangat besar untuk mencapai skala ekonomis.

Pola Channeling dan Joint Financing jauh lebih menarik, dimana pendapatan jauh lebih besar namun biaya relative terkontrol. Namun demikian, pola-pola ini rawan dispute mengingat ada dual process dan  administrasi. Selain itu, bank umum atau lembaga keuagan akan sangat tergantung dengan kinerja BPR atau LKM yang menjadi mitranya. Harus diawali dengan membangun kepercayaan yang sangat kuat, serta adanya kesepakatan teknis dan proses, legal, dan bisnis yang saling menguntungkan.
Selamat memilih!