Minggu, 18 Agustus 2013

Memahami Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (UU LKM) Secara Singkat


Banyak hal baru yang tercantum dalam UU LKM (UU No. 1 Tahun 2013). Mungkin saja karena ini kali pertama industri LKM diregulasi secara menyeluruh. Definisi LKM pun yang sebelumnya simpang siur, tergantung dari sudut mana kita melihat, kini telah dinyatakan dengan lebih jelas.

Dalam UU itu LKM didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.

Badan hukum LKM harus berupa koperasi atau perseroan terbatas (PT), dimana jika bentuk badan hukumnya berupa PT, maka kepemilikan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota atau Badan Usaha Milik Desa / Kelurahan minimal harus 60%. Cakupan wilayah usahanya pun ditentukan apakah dalam satu desa/kelurahan, satu kecamatan atau satu kabupaten / kota saja, jika wilayahnya sudah melewati batas kabupaten / kota maka LKM dipersilahkan menjadi bank saja.
Dalam hal memberikan pinjaman atau pembiayaan, maka suku bunga atau imbal hasilnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan untuk memberikan kenyamanan bagi para penabung atau deposan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan LKM itu sendiri dapat membentuk lembaga penjamin simpanan di LKM.

Pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi dalam pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota. Namun demikian jika Pemerintah Kabupaten / Kota belum siap menerima delegasi, maka OJK dapat menunjuk lembaga lain. Sedangkan laporan keuangan LKM diharuskan untuk dikirim ke OJK setiap 4 bulan sekali.
Dalam aturan peralihannya, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku, tetapi dalam kurun waktu setahun tersebut wajib mendaftarkan ulang untuk memperoleh izin dari OJK.

Bagaimana mengartikan UU LKM ini?
Ada beberapa hal yang menarik untuk dieksplor lebih lanjut dari UU LKM ini. Pertama, definisi LKM sepertinya mirip dengan definisi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) menurut UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, hanya saja cakupan kegiatannya diperluas, dan diberikan embel-embel ‘tidak semata-mata mencari keuntungan’. Hal ini tentu agak terbalik dengan semangat UU Perkoperasian yang justru mempertegas kegiatan KSP yang hanya boleh melakukan kegiatan simpan dan pinjam saja. Semangat ini sesungguhnya dapat diterima dengan baik oleh para praktisi KSP, karena selain untuk meningkatkan akuntabilitas, juga untuk meningkatkan metode penilaian (rating) yang wajar bagi KSP.


Di sisi lain, dalam sejarah LKM di Indonesia dan bahkan best practice internasional telah membuktikan bahwa keberlanjutan / sustainabilitas layanan LKM untuk tetap dapat melayani masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah justru didukung dengan adanya keuntungan (profit). Hanya LKM yang profit-lah yang bisa mandiri, tumbuh, berkembang dan sustain. Sustainability itulah yang sesungguhnya memberikan dampak pada pemberdayaan. Tetapi jika pemberdayaan lebih diutamakan, maka bisa-bisa kegiatan LKM nantinya justru menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kedua, rezim pengaturan LKM yang berbadan hukum koperasi besar kemungkinan cukup menimbulkan loop hole dalam pelaksanaannya. Di dalam UU Perkoperasian yang baru jelas ditegaskan bahwa pada setiap Anggaran Dasar (AD) Pendirian Koperasi wajib mencantumkan salah satu dari 4 jenis koperasi yang akan dipilih yaitu, koperasi konsumen, produsen, jasa atau simpan pinjam. Untuk pendirian LKM seharusnya menyatakan sebagai KSP. Nah, disinilah letak tumpang tindihnya, ketika LKM memilih KSP yang dituangkan di dalam AD, maka LKM tersebut harus tunduk terhadap Peraturan Menteri Koperasi sesuai dengan amanat UU Perkoperasian. Namun di sisi lain, kegiatan usaha LKM harus tunduk kepada Peraturan OJK. Untuk hal ini perlu perumusan lex generalis lex specialis yang matang agar tidak dimanfaatkan oleh “kutu loncat”.

Ketiga, dilihat dari cakupan usaha dan wilayah usahanya, LKM memang didesain sebagai lembaga keuangan yang dibonsai untuk tidak menjadi besar. Hal ini sepertinya bertentangan dengan prinsip bisnis sebuah lembaga keuangan yang mengikuti the law of the large numbers. Semakin lembaga keuangan itu kecil maka semakin lembaga tersebut mudah goyah (vulnerable), seperti mudah terkena resiko likuiditas, resiko strategis, resiko kredit, dan resiko reputasi. Yang jelas, harus ada pengaturan sedemikian rupa sehingga skala ekonomis LKM mampu menciptakan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) yang ideal.

Keempat, jika suku bunga pinjaman atau immbal hasil pembiayaan LKM diatur (dengan kecenderungan untuk dilakukan cap  dengan batas bunga maksimal), maka profitabilitas dan sustainabilitas LKM itu sendiri menjadi tanda tanya besar. Bagaimana LKM bisa menutupi biaya dana dan overhead-nya jika pendapatannya dibatasi. Biaya dana LKM yang berasal dari simpanan tentu akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya dana bank, baik bank umum maupun BPR. Terlebih simpanan di bank umum dan BPR jelas mendapatkan penjaminan dariLembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dan dilengkapi dengan berbagai fitur untuk kemudahan bertransaksi. Artinya, LKM harus mampu menghimpun dana dari masyarakat dengan pendekatan khusus agar tidak terbebani biaya dana yang tinggi.
Di sisi lain, jika LKM tidak mampu mencapai skala ekonomis yang ideal, maka biaya overhead suatu LKM akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bank umum atau BPR. Jika beban LKM begitu tinggi, mengapa lending rate-nya harus diatur? Bank umum, BPR dan bahkan KSP pun tidak diatur dalam menentukan bunga kreditnya.

Kelima, dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan LKM, OJK dapat mendelegasikan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota. Hal ini justru dapat menimbulkan permasalahan baru, karena jika kepemilikan LKM minimal enam puluh persennya dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten / Kota maka pengawasan oleh dirinya sendiri cenderung tidak akan efektif. Belum lagi terbukti bahwa pengawasan kepada KSP di masing-masing wilayah saja hingga saat ini masih belum berjalan efektif. Selain minimnya standar perangkat pengawasan dan pembinaan juga masih terbatasnya kapasitas Pemerintah Kabupaten  / Kota untuk melakukan pengawasan. Masih harus ada mekanisme lain yang ditempuh agar pengawasan ini akan efektif.

Keenam, peralihan dari lembaga-lembaga yang selama ini dianggap sebagai LKM, seperti BKK, BUKP, KURK, Bank Desa, dan sebagainya umumnya saat ini mereka telah berubah menjadi BPR melalui dorongan dari UU Perbankan No. 7 Tahun 1992. Justru masih banyak lembaga-lembaga bentukan Pemerintah melalui berbagai program, seperti UED-SP (Unit Ekonomi Desa – Simpan Pinjam), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) yang saat ini digunakan untuk mendukung PNPM – Mandiri, LEPM3 (Lembaga Ekonomi Pengelolaan Pesisir Mikro Mitra Mina) dan lembaga-lembaga lainnya tidak teridentifikasi untuk melakukan penyesuaian terhadap UU LKM. Justru lembaga-lembaga itulah yang sesungguhnya mendekati definisi LKM dalam undang-undangnya. Dimana sumber pendanaan lembaga-lembaga bentukan program pemerintah itu banyak yang berasal dari anggaran pemerintah, dan dalam kegiatannya tidak semata-mata mencari keuntungan.

Masih banyak hal yang perlu kita benahi bersama-sama agar implementasi UU LKM ini berjalan baik dan efektif sesuai dengan tujuan mulia dari UU tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar