Sebelas prinsip keuangan mikro
ini disepakati dan menjadi pedoman bagi CGAP (Consultative Group to Assist the Poor) yang terdiri dari 31
lembaga agen pembangunan di seluruh dunia, baik sektor publik maupun swasta. Bahkan, sebelas prinsip ini
telah diakui oleh negara-negara
maju yang tergabung dalam kelompok G8.
1. Masyarakat
berpenghasilan rendah membutuhkan berbagai macam layanan keuangan, bukan hanya kredit
saja. Untuk mendapatkan kredit, mereka juga umumnya ingin menabung, ikut asuransi,
dan transfer uang.
2. Keuangan
mikro sangat powerful untuk memerangi
kemiskinan. Masyarakat berpenghasilan rendah memanfaatkan layanan finansial
untuk meningkatkan pendapatannya, membangun aset (harta yang bermanfaat –untuk mendukung
kelangsungan hidupnya), dan untuk berjaga-jaga apabila mereka terkena dampak
jika terjadi masalah eksternal yang tidak terduga.
3. Keuangan
mikro berarti membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat
berpenghasilan rendah. Keuangan mikro akan berperan secara maksimal hanya
apabila dapat terintegrasi dengan sistem keuangan suatu negara (country’s mainstream).
4. Keuangan mikro harus dapat menghidupi
dirinya sendiri, hal itu dapat terwujud apabila lembaga keuangan mikro menjangkau
/ melayani banyak masyarakat berpenghasilan rendah. Jika lembaga keuangan
mikro tidak mampu menutupi biayanya sendiri, maka keberadan lembaga keuangan
mikro akan sangat terbatas karena sumber pendanaannya hanya akan tergantung
pada pemerintah dan donor yang penuh ketidakpastian.
5. Keuangan mikro berarti membangun lembaga
keuangan lokal yang permanen, dimana lembaga keuangan lokal tersebut diharapkan
mampu menarik simpanan bagi masyarakat sekitar –dan selanjutnya disalurkan
kembali dalam bentuk kredit atau layanan finansial lainnya.
6. Kredit mikro tidak selalu menjadi jawaban. Dukungan / bantuan dalam bentuk lain mungkin
akan lebih tepat bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki kecukupan
penghasilan dan atau kemampuan untuk membayar hutang.
7. Pembatasan suku bunga kredit akan “menyakiti”
masyarakat berpenghasilan rendah karena mereka akan kesulitan dalam mengakses kredit.
Biaya untuk pemberian kredit mikro memang lebih mahal dibandingkan kredit
besar. Pembatasan suku bunga kredit mikro hanya akan membatasi kemampuan
lembaga keuangan mikro menutupi biaya-biayanya, yang dapat mengancam
kelangsungan usahanya. Apabila lembaga keuangan mikro banyak yang tidak mampu
menjaga kelangsungan usahanya, maka supply kredit kepada masyarakat
berpenghasilan rendah akan berkurang. Pada akhirnya masyarakat berpenghasilan
rendah akan kesulitan mengakses kredit.
8. Peran pemerintah seharusnya mendorong
tumbuh dan berkembangnya layanan keuangan mikro, bukan menyediakan layanan
mikro sendiri secara langsung. Pemerintah hampir dipastikan tidak pernah
berhasil dalam mengelola kredit sendiri secara langsung, tetapi pemerintah
memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan usaha yang baik melalui
berbagai kebijakan.
9. Dana dari donor dan pemerintah seharusnya
menjadi pelengkap pelaku keuangan mikro dari sektor swasta, bukan malah menjadi
pesaing. Dana donors sebaiknya hanya mensubsidi sementara pada tahap-tahap awal saja.
10. Kekurangan lembaga keuangan mikro yang kuat
dan pengelola keuangan mikro yang professional menjadi “bottleneck.” Peran nonor
dan pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan kapasitas kelembagaan (capacity building).
11. Keuangan
mikro dapat bekerja secara efektif ketika kinerjanya dapat diukur dan kinerjanya
terbuka bagi publik umumnya, dan stakeholders
khususnya. Pelaporan tidak saja memudahkan stakeholders mengukur biaya dan manfaat dari sebuah lembaga
keuangan mikro, tetapi juga dapat dijadikan tolok ukur kinerja sebuah lembaga
keuangan mikro. Setiap lembaga keuangan mikro seharusnya membuat laporan
kinerja finansial dan kinerja social (social
performance), seperti jumlah dan tingkat masyarakat miskin yang telah
dilayani
.
Tulisan ini disadur kembali dari buku “Access
for All: Building Inclusive Financial System” (World Bank, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar