Transaksi keuangan syariah bukan milik masyarakat muslim
secara ekslusif, tetapi berlaku universal di seluruh pelosok dunia –dengan mengedepankan
transparansi, keadilan dan berdasarkan cash basis.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menerapkan prinsip syariah,
seperti BPR Syariah (BPRS), KSP Syariah / Koperasi Jasa Keuangan Syariah
(KJKS), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Baitul Qiraad (BQ), dan sebagainya –umumnya
memiliki produk yang relatif lengkap dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
berpenghasilan rendah.
Bagi masyarakat yang tergolong fakir miskin (poor of the
poor) yang tidak memiliki kecukupan penghasilan dan kemampuan membayar angsuran
hutang, mereka dapat memperoleh fasilitas Qordul
Hasan (dana kebajikan). Fasilias ini berupa pinjaman dana (modal) kepada
fakir miskin untuk berusaha tetapi kepadanya tidak diwajibkan memberikan
keuntungan (bagi hasil) kepada penyedia fasilitas. Dengan demikian fasilitas
ini tidak memberatkan bagi masyarakat yang relative sangat miskin. Hal ini
sejalan dengan 11 prinsip keuangan mikro, khususnya prinsip ke-6, yaitu “Kredit
Mikro Tidak Selalu Menjadi Jawaban” –dalam pengentasan kemiskinan.
Bagi masyarakat yang akan membeli barang tetapi kemampuannya
terbatas sehingga harus membayar dengan
cara mencicil atau mengangsur, mereka dapat memperoleh fasilitas Bai’ Al Murabahah. Fasilitas ini dibuat
secara transparan, dimana penyedia fasilitas menyebutkan besarnya margin yang
diperoleh. Sebaliknya jika pembelian dimana barang baru akan diterima
dikemudian hari dan pembeli harus memesan dengan membayar uang muka, maka
mereka dapat memperoleh fasilitas Bai’ As-Salam.
Bagi para petani, mereka dapat memperoleh fasilitas Al-Muzara’ah (bagi hasil dari hasil
panen) atau Al-Muzaqah (bagi hasil
tertentu dari hasil panen –didasarkan atas tanggungjawab penyiraman dan
pemeliharaan). Sedangkan bagi mereka yang menginginkan kerjasama usaha (joint
venture), mereka bisa memperoleh Al-Musyarakah
(bagi hasil berdasarkan jumlah modal dan kesepakatan bersama yang
didasarkan atas pengelolaan usaha). Jika masyarakat meng Al-Mudarabah (bagi hasil dengan
rasio tertentu berdasarkan modal yang disertakan).
Masih banyak lagi bentuk-bentuk transaksi finansial dengan
prinsip syariah, seperti Al-Ijarah (sewa-menyewa),
Al-Ijarah-Muntahia
Bit-Tamlik (sewa guna / leasing). Ada juga Al-Wakalah (perwakilan), Al-Kafalah
(memberikan jaminan / avalis), Al-Hawalah
(asset sale), dan Ar-Rahn (gadai).
Nah, yang paling menarik adalah ketika seseorang tidak mampu
membayar hutang (ghorimin) –maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan
bagian dari zakat untuk menyelesaikan kewajibannya. Tentu term and condition is applied.
Jika prinsip-prinsip
syariah dijalankan secara konsisten, seharusnya tidak ada satupun LKMS yang
menderita kerugian akibat terkena risiko kredit dan risiko pasar. Logikanya,
LKMS tidak dibebani biaya dana di depan –tetapi hanya akan membagi keuntungan
berdasarkan rasio yang disepakati (nisbah) dengan pemilik dana / investor / penabung
/ “deposan” / “kreditor”. Jika pembiayaannya bermasalah dan tidak memperoleh
pendapatan bagi hasil dan / atau margin, maka LKMS tersebut juga tidak membagi
keuntungan kepada pemilik dana.
Semoga sekelumit pengetahuan ini dapat memperkaya alternative
kita dalam menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah lebih luas lagi. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar