Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berdasarkan
UU No 1 Tahun 2013 jelas memiliki semangat untuk memberikan layanan finansial bagi
masyarakat miskin dan/atau masyarakat berpenghasilan rendah seluas-luasnya, mengingat
masih terdapat gap yang besar antara demand dan supply layanan financial bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan kata lain, lembaga-lembaga keuangan yang berada dalam sistem keuangan
nasional selama ini masih lebih banyak melayani masyarakat kelas atas. Dampaknya,
masyarakat berpenghasilan rendah lebih banyak mengakses layanan finansial dari
lembaga-lembaga informal yang belum memiliki legal standing yang jelas. Nah, kehadiran UU No 1/2013 itu juga
dimaksudkan untuk menertibkan lembaga-lembaga keuangan mikro non formal yang
selama ini telah beroperasi.
Dilihat dari beberapa aspek dalam UU No 1/2013 LKM itu secara prinsip mirip sekali dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), intinya dapat menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pinjaman / pembiayaan. Yang membedakan, LKM dapat memberikan jasa pengembangan usaha tetpi wilayah usahanya lebih sempit, sedangkan BPR hanya dapat menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat saja tetapi cakupan wilayahnya sedikit lebih luas (dalam wilayah propinsi).
Pembatasan wilayah usaha tersebut
secara common sense pasti akan
membatasi size LKM itu sendiri. Hal
ini sebenarnya agak bertentangan dengan prinsip the law of the large numbers sebuah lembaga keuangan. Dimana,
semakin kecil ukuran lembaga keuangan, baik dari sisi nilai rupiah maupun
jumlah pelanggannya, maka lembaga keuangan tersebut semakin berisiko. Di sisi
lain, jika LKM diharapkan beroperasi secara ideal sesuai harapan
undang-undangnya, maka LKM membutuhkan resources
yang lengkap dan tentu biaya operasionalnya akan menjadi costly (sangat mahal / tidak efisien) bagi lembaga keuangan yang size-nya kecil atau sangat kecil.
Untuk itu, perlu strategi jitu bagi
LKM agar dapat mempertahankan laba (survice)
dan berkesinambungan dalam melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Salah
satunya adalah bekerjasama dengan bank umum –yaitu dalam bentuk keagenan (agency), baik dalam mobilisasi dana
masyarakat maupun dalam penyaluran dana masyarakat. Dengan pola keagenan
teresebut, LKM dapat mencapai skala ekonomis dengan lebih cepat sehingga akan
tercapai operasional yang efisien sekaligus dapat menurunkan eksposur risiko –terutama
risiko likuiditas dan risiko kredit. Bentuk keagenan ini secara teknis dapat
berupa co-branding dengan produk bank
umum ataupun keagenan dalam rangka pelaksanaan konsep branchless banking, ataupun hanya sekedar pembiayaan dengan pola channeling dan pemanfaatan fasilitas
rekening virtual bank umum.
Bank umum mana yang peduli LKM?
Idealnya, bank umum yang fokus melayani LKM –atau yang disebut juga Apex – LKM atau
juga bisa disebut sebagai lembaga pengayom atau bank sentral bagi LKM. Inilah
yang sebenarnya diharapkan dalam Milenium Development Goals (MDGs) – yang dicanangkan
oleh PBB, yaitu terbentuknya Financial Inclusion System (sistem keuangan
inklusif) untuk memberikan akses layanan finansial bagi masyarakat miskin dan
atau masyarakat berpenghasilan rendah.
Untuk mewujudkan mimpi mulia
tersebut tentu diperlukan langkah-langkah konkrit dari semua pihak. Dari aspek
regulasi telah cukup sebagai landasan hukum (macro
level), namun dari pengembangan sistem pendukung dan infrastruktur (meso level) yang seharusnya menjadi
kewajiban pemerintah masih belum cukup memadai. Di sisi lain, pada tingkat
pelaksanaan (micro level) masih
banyak ketentuan-ketentuan yang kurang sejalan dengan semangat pada tingkat
makro (political will). Sebagai
contoh, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai ketentuan tentang apex bank, micro-insurance, micro-investment dan transaksi finansial
lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dengan segala keunikan
perilakunya.
Semoga tulisan ini dapat mendorong
terwujudnya mimpi mulia, yaitu mengentaskan kemiskinan di Indonesia melalui
akses finansial yang lebih baik.