Jumat, 18 April 2014

LKM, Branchless Banking, Apex Bank dan Keuangan Inklusif

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berdasarkan UU No 1 Tahun 2013 jelas memiliki semangat untuk memberikan layanan finansial bagi masyarakat miskin dan/atau masyarakat berpenghasilan rendah seluas-luasnya, mengingat masih terdapat gap yang besar antara demand dan supply layanan financial bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan kata lain, lembaga-lembaga keuangan yang berada dalam sistem keuangan nasional selama ini masih lebih banyak melayani masyarakat kelas atas. Dampaknya, masyarakat berpenghasilan rendah lebih banyak mengakses layanan finansial dari lembaga-lembaga informal yang belum memiliki legal standing yang jelas. Nah, kehadiran UU No 1/2013 itu juga dimaksudkan untuk menertibkan lembaga-lembaga keuangan mikro non formal yang selama ini telah beroperasi.

Dilihat dari beberapa aspek dalam UU No 1/2013 LKM itu secara prinsip mirip sekali dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), intinya dapat menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pinjaman / pembiayaan. Yang membedakan, LKM dapat memberikan jasa pengembangan usaha tetpi wilayah usahanya lebih sempit, sedangkan BPR hanya dapat menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat saja tetapi cakupan wilayahnya sedikit lebih luas (dalam wilayah propinsi).

Pembatasan wilayah usaha tersebut secara common sense pasti akan membatasi size LKM itu sendiri. Hal ini sebenarnya agak bertentangan dengan prinsip the law of the large numbers sebuah lembaga keuangan. Dimana, semakin kecil ukuran lembaga keuangan, baik dari sisi nilai rupiah maupun jumlah pelanggannya, maka lembaga keuangan tersebut semakin berisiko. Di sisi lain, jika LKM diharapkan beroperasi secara ideal sesuai harapan undang-undangnya, maka LKM membutuhkan resources yang lengkap dan tentu biaya operasionalnya akan menjadi costly (sangat mahal / tidak efisien) bagi lembaga keuangan yang size-nya kecil atau sangat kecil.

Untuk itu, perlu strategi jitu bagi LKM agar dapat mempertahankan laba (survice) dan berkesinambungan dalam melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Salah satunya adalah bekerjasama dengan bank umum –yaitu dalam bentuk keagenan (agency), baik dalam mobilisasi dana masyarakat maupun dalam penyaluran dana masyarakat. Dengan pola keagenan teresebut, LKM dapat mencapai skala ekonomis dengan lebih cepat sehingga akan tercapai operasional yang efisien sekaligus dapat menurunkan eksposur risiko –terutama risiko likuiditas dan risiko kredit. Bentuk keagenan ini secara teknis dapat berupa co-branding dengan produk bank umum ataupun keagenan dalam rangka pelaksanaan konsep branchless banking, ataupun hanya sekedar pembiayaan dengan pola channeling dan pemanfaatan fasilitas rekening  virtual bank umum.

Bank umum mana yang peduli LKM? Idealnya, bank umum yang fokus melayani LKM –atau yang disebut juga Apex – LKM atau juga bisa disebut sebagai lembaga pengayom atau bank sentral bagi LKM. Inilah yang sebenarnya diharapkan dalam Milenium Development Goals (MDGs) – yang dicanangkan oleh PBB, yaitu terbentuknya Financial  Inclusion System (sistem keuangan inklusif) untuk memberikan akses layanan finansial bagi masyarakat miskin dan atau masyarakat berpenghasilan rendah.
Untuk mewujudkan mimpi mulia tersebut tentu diperlukan langkah-langkah konkrit dari semua pihak. Dari aspek regulasi telah cukup sebagai landasan hukum (macro level), namun dari pengembangan sistem pendukung dan infrastruktur (meso level) yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah masih belum cukup memadai. Di sisi lain, pada tingkat pelaksanaan (micro level) masih banyak ketentuan-ketentuan yang kurang sejalan dengan semangat pada tingkat makro (political will). Sebagai contoh, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai ketentuan tentang apex bank, micro-insurance, micro-investment dan transaksi finansial lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dengan segala keunikan perilakunya.

Semoga tulisan ini dapat mendorong terwujudnya mimpi mulia, yaitu mengentaskan kemiskinan di Indonesia melalui akses finansial yang lebih baik. 

Senin, 14 April 2014

Lembaga Keuangan Syariah (LKMS) Lebih Tepat untuk Pengentasan Kemiskinan

Transaksi keuangan syariah bukan milik masyarakat muslim secara ekslusif, tetapi berlaku universal di seluruh pelosok dunia –dengan mengedepankan transparansi, keadilan dan berdasarkan cash basis.

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menerapkan prinsip syariah, seperti BPR Syariah (BPRS), KSP Syariah / Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Baitul Qiraad (BQ), dan sebagainya –umumnya memiliki produk yang relatif lengkap dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.

Bagi masyarakat yang tergolong fakir miskin (poor of the poor) yang tidak memiliki kecukupan penghasilan dan kemampuan membayar angsuran hutang, mereka dapat memperoleh fasilitas Qordul Hasan (dana kebajikan). Fasilias ini berupa pinjaman dana (modal) kepada fakir miskin untuk berusaha tetapi kepadanya tidak diwajibkan memberikan keuntungan (bagi hasil) kepada penyedia fasilitas. Dengan demikian fasilitas ini tidak memberatkan bagi masyarakat yang relative sangat miskin. Hal ini sejalan dengan 11 prinsip keuangan mikro, khususnya prinsip ke-6, yaitu “Kredit Mikro Tidak Selalu Menjadi Jawaban” –dalam pengentasan kemiskinan.

Bagi masyarakat yang akan membeli barang tetapi kemampuannya terbatas sehingga  harus membayar dengan cara mencicil atau mengangsur, mereka dapat memperoleh fasilitas Bai’ Al Murabahah. Fasilitas ini dibuat secara transparan, dimana penyedia fasilitas menyebutkan besarnya margin yang diperoleh. Sebaliknya jika pembelian dimana barang baru akan diterima dikemudian hari dan pembeli harus memesan dengan membayar uang muka, maka mereka dapat memperoleh fasilitas Bai’ As-Salam.

Bagi para petani, mereka dapat memperoleh fasilitas Al-Muzara’ah (bagi hasil dari hasil panen) atau Al-Muzaqah (bagi hasil tertentu dari hasil panen –didasarkan atas tanggungjawab penyiraman dan pemeliharaan). Sedangkan bagi mereka yang menginginkan kerjasama usaha (joint venture), mereka bisa memperoleh Al-Musyarakah (bagi hasil berdasarkan jumlah modal dan kesepakatan bersama yang didasarkan atas pengelolaan usaha). Jika masyarakat meng Al-Mudarabah  (bagi hasil dengan rasio tertentu berdasarkan modal yang disertakan).

Masih banyak lagi bentuk-bentuk transaksi finansial dengan prinsip syariah, seperti Al-Ijarah (sewa-menyewa),  Al-Ijarah-Muntahia Bit-Tamlik (sewa guna / leasing). Ada juga Al-Wakalah (perwakilan), Al-Kafalah (memberikan jaminan / avalis), Al-Hawalah (asset sale), dan  Ar-Rahn (gadai).

Nah, yang paling menarik adalah ketika seseorang tidak mampu membayar hutang (ghorimin) –maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan bagian dari zakat untuk menyelesaikan kewajibannya. Tentu term and condition is applied.

Jika prinsip-prinsip syariah dijalankan secara konsisten, seharusnya tidak ada satupun LKMS yang menderita kerugian akibat terkena risiko kredit dan risiko pasar. Logikanya, LKMS tidak dibebani biaya dana di depan –tetapi hanya akan membagi keuntungan berdasarkan rasio yang disepakati (nisbah) dengan pemilik dana / investor / penabung / “deposan” / “kreditor”. Jika pembiayaannya bermasalah dan tidak memperoleh pendapatan bagi hasil dan / atau margin, maka LKMS tersebut juga tidak membagi keuntungan kepada  pemilik dana.


Semoga sekelumit pengetahuan ini dapat memperkaya alternative kita dalam menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah  lebih luas lagi. Amin.

Minggu, 13 April 2014

11 Prinsip Utama Keuangan Mikro


Sebelas prinsip keuangan mikro ini disepakati dan menjadi pedoman bagi CGAP (Consultative Group to Assist the Poor) yang terdiri dari 31 lembaga agen pembangunan di seluruh dunia, baik sektor  publik maupun swasta. Bahkan, sebelas prinsip ini telah diakui oleh negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok G8.

1. Masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan berbagai macam layanan keuangan, bukan hanya kredit saja. Untuk mendapatkan kredit, mereka juga umumnya ingin menabung, ikut asuransi, dan transfer uang.

2. Keuangan mikro sangat powerful untuk memerangi kemiskinan. Masyarakat berpenghasilan rendah memanfaatkan layanan finansial untuk meningkatkan pendapatannya, membangun aset (harta yang bermanfaat –untuk mendukung kelangsungan hidupnya), dan untuk berjaga-jaga apabila mereka terkena dampak jika terjadi masalah eksternal yang tidak terduga.

3. Keuangan mikro berarti membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Keuangan mikro akan berperan secara maksimal hanya apabila dapat terintegrasi dengan sistem keuangan suatu negara (country’s mainstream).

4.  Keuangan mikro harus dapat menghidupi dirinya sendiri, hal itu dapat terwujud apabila lembaga keuangan mikro menjangkau / melayani banyak masyarakat berpenghasilan rendah. Jika lembaga keuangan mikro tidak mampu menutupi biayanya sendiri, maka keberadan lembaga keuangan mikro akan sangat terbatas karena sumber pendanaannya hanya akan tergantung pada pemerintah dan donor yang penuh ketidakpastian.

5. Keuangan mikro berarti membangun lembaga keuangan lokal yang permanen, dimana lembaga keuangan lokal tersebut diharapkan mampu menarik simpanan bagi masyarakat sekitar –dan selanjutnya disalurkan kembali dalam bentuk kredit atau layanan finansial lainnya.

6. Kredit mikro tidak selalu menjadi jawaban.  Dukungan / bantuan dalam bentuk lain mungkin akan lebih tepat bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki kecukupan penghasilan dan atau kemampuan untuk membayar hutang.

7. Pembatasan suku bunga kredit akan “menyakiti” masyarakat berpenghasilan rendah karena mereka akan kesulitan dalam mengakses kredit. Biaya untuk pemberian kredit mikro memang lebih mahal dibandingkan kredit besar. Pembatasan suku bunga kredit mikro hanya akan membatasi kemampuan lembaga keuangan mikro menutupi biaya-biayanya, yang dapat mengancam kelangsungan usahanya. Apabila lembaga keuangan mikro banyak yang tidak mampu menjaga kelangsungan usahanya, maka supply kredit kepada masyarakat berpenghasilan rendah akan berkurang. Pada akhirnya masyarakat berpenghasilan rendah akan kesulitan mengakses kredit.

8.  Peran pemerintah seharusnya mendorong tumbuh dan berkembangnya layanan keuangan mikro, bukan menyediakan layanan mikro sendiri secara langsung. Pemerintah hampir dipastikan tidak pernah berhasil dalam mengelola kredit sendiri secara langsung, tetapi pemerintah memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan usaha yang baik melalui berbagai kebijakan.

9. Dana dari donor dan pemerintah seharusnya menjadi pelengkap pelaku keuangan mikro dari sektor swasta, bukan malah menjadi pesaing. Dana donors sebaiknya hanya mensubsidi  sementara pada tahap-tahap awal saja.

10. Kekurangan lembaga keuangan mikro yang kuat dan pengelola keuangan mikro yang professional menjadi “bottleneck.”  Peran nonor dan pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan kapasitas kelembagaan (capacity building).

11. Keuangan mikro dapat bekerja secara efektif ketika kinerjanya dapat diukur dan kinerjanya terbuka bagi publik umumnya, dan stakeholders khususnya. Pelaporan tidak saja memudahkan stakeholders mengukur biaya dan manfaat dari sebuah lembaga keuangan mikro, tetapi juga dapat dijadikan tolok ukur kinerja sebuah lembaga keuangan mikro. Setiap lembaga keuangan mikro seharusnya membuat laporan kinerja finansial dan kinerja social (social performance), seperti jumlah dan tingkat masyarakat miskin yang telah dilayani
.
 Tulisan ini disadur kembali dari buku “Access for All: Building Inclusive Financial System” (World Bank, 2004).

Minggu, 06 April 2014

Apex LKM, Indah Dibayangkan dan Enak Didiskusikan, Tapi Mengapa Susah Dijalankan?

Apex-LKM sering didefinisikan secara sederhana sebagai lembaga pengayom yang memberikan layanan khusus bagi LKM.

Sudah cukup lama dan cukup banyak kita berdiskusi tentang Apex-LKM di Indonesia karena jumlah LKM di Indonesia yang begitu masiv. Bahkan tidak sedikit diantara kita yang belajar tentang Apex Micro Finance Institution (MFIs) dari negara lain. Hingga kini, tidak juga sedikit lembaga yang telah memproklamirkan dirinya sebagai lembaga apex, walaupun belum sesempurna yang didiskusikan sehari-hari. Apa yang membuat implementasi Apex LKM di  Indonesia begitu “alot”?


Bandingkan dengan dua Apex Bank di Jepang, yaitu Norinchunkin Bank (sudah berumur lebih dari 90 tahun) dan Shinkin Central Bank (berumur lebih dari 63 tahun). Norinchunkin adalah lembaga keuangan berbasis koperasi  yang dimiliki oleh anggotanya, yaitu koperasi pertanian, koperasi perikanan, koperasi kehutanan, dan koperasi-koperasi lain yang terkait dengan pertanian, perikanan dan kehutanan –yang jumlahnya 3.808 (per September 2013).  Kegiatan utamanya hanya melayani jasa financial bagi anggotanya.

Sedangkan Shinkin Central Bank adalah bank sentral bagi koperasi simpan pinjam (shinkin bank) yang beroperasi secara regional dan khusus melayani usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di wilayah tertentu. Bank sentral ini juga dimiliki oleh anggotanya (shinkin banks) dan kegiatan utamanya hanya memberikan layanan finansial kepada anggotanya, sebanyak 268 shinkin banks.

Apex LKM di Indonesia
Belum terwujudnya Apex LKM di Indonesia lebih dikarenakan belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan – kepentingan – dan regulasi. Sebagai contoh, Bank Indonesia telah mengeluarkan Generic Model Apex BPR (yang bersifat tidak mengikat) dan telah mendorong BPD-BPD untuk menjadi Regional Champion Bank sekaligus menjadi apex bagi BPR-BPR yang berada di dalam satu propinsi. Namun dalam implementasinya belum menunjukan hasil yang maksimal sesuai dengan harapan Generic Model –nya, dimana Lembaga Apex  diharapkan dapat melakukan 3 fungsi utama: 1) pooled of funds; 2) penyedia likuiditas dan kredit linkage bagi BPR; dan 3) bantuan teknis (technical assistance). Belum maksimalnya implementasi Apex BPR dengan BPD setempat dikarenakan adanya “benturan kepentingan” dalam memperebutkan segmen pasar mikro – kecil.

Apex BPR yang diinisiasi sendiri oleh BPR-BPR dengan bekerjasama dengan Bank Andara –atau disebut sebagai ABB (Andara Bersama BPR) yang kini berada di DKI Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) –masih lebih fokus pada pengelolaan dana pooled of funds dan penyediaan dana likuiditas. Technical assistance masih lebih banyak berbentuk pelatihan BPR, daripada penyelenggaraan pengembangan dan pemasaran produk bersama, dan ataupun pemanfaatan infrastruktur bersama untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih baik bagi seluruh anggotanya.

Lambatnya implementasi Apex BPR yang mendekati ideal, dimana lembaga apex dapat dimiliki oleh BPR dan kegiatan usahanya lebih banyak melayani BPR karena belum adanya regulasi yang menjadi landasan. Secara regulasi BPR hingga saat ini hanya diperbolehkan menghimpun dana dan menyalurkannya dalam bentuk pemberian kredit, sehingga tidak dimungkinkan BPR memiliki saham di lembaga lain, termasuk apex bank untuk BPR.

Padahal, jika BPR dapat memiliki Bank Apex BPR sendiri, dan lembaga tersebut beroperasi seperti Norinchunkin Bank atau Sinkin Central Bank seperti di Jepang, maka dengan asumsi seluruh BPR anggota hanya diperbolehkan menempatkan dan menerima dana pinjaman dari Bank Apex terserbut –setidaknya  Bank Apex BPR dapat mengelola dana simpanan dari BPR sebesar Rp. 15,2 triliun (per Januari 2014) –yang selama ini disimpan berpencar-pencar di banyak bank umum dalam bentuk (Aktiva Antar Bank). Di sisi lain, Bank Apex tersebut juga berpotensi dapat menyalurkan kredit  kepada BPR mencapai Rp. 12,76 triliun (per Jan 2014), yang pada akhirnya keuntungannya akan kembali kepada BPR lagi dalam bentuk dividen atau benefit lainnya. Lebih dari itu, dengan bergabungnya BPR kedalam satu lembaga apex tentu penghimpunan dana pihak ketiga juga akan lebih dahsyat lagi –melalui penyediaan fasilitas teknologi dan pemasaran bersama.

Untuk merealisasikan Bank Apex BPR yang ideal tersebut tentu ada sejumlah pekerjaan rumah yag harus dibereskan terlebih dahulu, seperti regulasi, infrastruktur sebuah lembaga apex, serta semangat kebersamaan antar pelaku industri BPR –sebagaimana yang menjadi slogan Norinchunkin Bank “one for all, all for one”.

Apex Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
IKSP (Induk Koperasi Simpan Pinjam) yang dimiliki oleh anggotanya (KSP-KSP) sudah mendekati ideal. Namun, IKSP justru kehilangan prinsip “one for all, all for one” dari sebuah lembaga apex. IKSP tidak mampu mewajibkan seluruh KSP anggotanya untuk menempatkan excess liquidity di IKSP, dan sebaliknya IKSP juga tidak selalu mampu menyediakan dana likuiditas bagi setiap KSP anggota yang memerlukannya. Mengapa hal ini terjadi?

KSP anggota pada umumnya lebih membutuhkan likuiditas dari IKSP –mengingat kemampuan KSP dalam memobilisasi dana dari anggotanya sangat terbatas. Maklum, anggota KSP masih lebih suka menempatkan dananya di bank umum (karena lebih aman dan banyak fasilitasnya) –sedangkan untuk mendapatkan pinjaman lebih suka ke KSP (karena lebih longgar persyaratannya). Di sisi lain, IKSP tidak memiliki kecukupan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas KSP anggotanya. Walhasil, KSP mencari sendiri sumber pendanaan sendiri, baik dari bank umum ataupun lembaga keuangan lainnya.
Ketika IKSP juga mendapatkan sumber dana dari bank umum atau lembaga keuangan lainnya, maka sudah dipastikan pinjaman yang akan diberikan kepada KSP anggota akan jauh lebih mahal ketimbang KSP mengakses langsung ke bank umum atau lembaga keuangan lainnya tersebut.

Kini, IKSP akan terus kehilangan arah (disorientasi) –dan cenderung akan mati suri, terlebih ketika IKSP harus bersaing dengan badan layanan umum (BLU) LPDB (Lembaga Pengeloloa Dana Bergulir) Kementerian Koperasi & UKM. LPDB ssebagai penyalur dana “bersubsidi” banyak memberikan pinjaman kepada KSP-KSP, baik anggota IKSP maupun bukan anggota –dengan suku bunga subsidi yang pasti jauh lebih murah dari pinjaman IKSP.
Sekali lagi, keberadaan Apex KSP –seperti halnya Shinkin Central Bank di Jepang seharusnya mendapat dukungan dari Pemerintah alias harus ada political will yang kuat. Keberadaan Shinkin Central Bank bahkan diregulasi dengan undang-undang tersendiri sejak tahun 1950 –dan diawasi oleh Financial Services Authority (semacam OJK di Indonesia).  

Sebenarnya belum ada kata terlambat bagi Pemerintah untuk membenahi sistem Apex KSP. Katakanlah IKSP ditunjuk oleh Pemerintah sebagai Apex KSP –dengan regulasi khusus. Untuk memperoleh sumber pendanaan yang murah, IKSP dapat menerbitkan obligasi dengan stanby buyer LPDB. Melalui penerbitan obligasi itulah, IKSP juga dituntut professional dengan harus menjaga kinerjanya minimal pada posisi “investment grade”.  

Dengan demikian, IKSP tidak lagi harus bersaing tidak sehat dengan LPDB. Sedangkan LPDB seharusnya tidak lagi diperkenankan membiayai KSP secara langsung, tetapi difokuskan untuk membiayai koperasi Non KSP.

Semoga Pemerintahan baru yang dihasilkan Pemilu tahun 2014 ini memiliki political will yang kuat untuk memajukan industri lembaga keuangan mikro (LKM) –guna memberikan akses yang lebih luas lagi bagi masyarakat berpenghasilan rendah….

Sabtu, 05 April 2014

Mengapa Suku Bunga Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Sangat Tinggi?

 Masih banyak di antara kita yang bertanya-tanya mengapa suku bunga yang ditawarkan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM), termasuk diantaranya Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan LKM Lainnya, masih sangat tinggi. Bahkan ada pertanyaan setengah sinis, apa bedanya LKM dengan “lintah darat”? Ada juga yang mendramatisir dan sedikit mempolitisasi, dimana keberpihakan terhadap wong cilik (usaha mikro) –jika bunga mikro jauh lebih mahal daripada bunga korporat?

Ada 5 alasan mengapa suku bunga LKM relatif tinggi:

1.       Sumber dana LKM mahal.
Sebagian besar dana yang dipinjamkan oleh LKM kepada masyarakat mikro – kecil umumnya berbiaya tinggi. Contoh: LKM menerima pinjaman dari bank umum atau lembaga keuangan lain dengan nominal yang besar (misal 15%) –kemudian dipinjamkan kembali kepada usaha mikro kecil dalam pecahan yang kecil-kecil, sudah barang tentu bunganya akan lebih mahal (pasti jauh lebih besar dari 15%). Pertanyaan berikutnya, mengapa LKM harus pinjam dari bank umum atau lembaga keuangan lain? Karena secara regulasi LKM dibatasi dalam penghimpunan dana (kecuali BPR), dan banyak hal yang secara alamiah membatasi kemampuan LKM sendiri dalam menghimpun dana, seperti jumlah kantor cabang yang sedikit, tidak adanya penjaminan simpanan, tidak memiliki teknologi penunjang yang memadai, seperti ATM, on-line system, dan seterusnya.

2.       Biaya operasional LKM sangat tinggi secara persentase.
Nominal pinjaman yang diberikan oleh LKM relatif sangat kecil (namanya juga kredit mikro – kecil), sehingga sehingga banyak membutuhkan biaya operasional. Misal, jika biaya standar melayani satu nasabah peminjam (debitur) adalah sebesar Rp. 1 juta. Maka untuk melayani seorang debitur dengan nilai kredit sebesar Rp. 1 miliar –adalah Rp. 1 juta (secara persentase 0,1%). Tetapi jika total kredit Rp. 1 miliar dipecah menjadi kredit mikro – kecil yang disalurkan kepada 100 usaha mikro – kkecil dengan masing-masing kredit sebesar Rp. 10 juta, maka biaya operasionalnya sebesar Rp. 100 juta (yaitu Rp. 1 juta x 100 nasabah) –atau biaya operasional dalam persentase sebesar 10% (Rp. 100 juta / Rp. 1 miliar).

3.       Secara individual risiko kredit mikro – kecil lebih tinggi dibanding kredit besar.
Usaha mikro – kecil pada umumnya bersifat non formal, dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki kolateral yang kuat secara hukum dan marketable, sehingga tidak sedikit LKM yang “berani” menanggung risiko karena lebih menggunakan pendekatan sosial budaya (socio-culture). Contoh, banyak masyarakat mikro yang memberikan surat tanah dalam bentuk girik, leter C, pethuk, dan sebagainya, bahkan pembiayaan-pembiayaan yang diberikan melalui pola tanggung renteng (group lending) tidak meminta kolateral dari nasabah.

Sedangkan kredit besar umumnya di-covered oleh berbagai jenis jaminan hingga tidak ada lagi sedikitpun celah risiko yang terbuka.

4.       LKM perlu menjaga kelangsungan hidup usaha.
Untuk menjaga agar LKM tetap dapat bertahan hidup dan usahanya berkelanjutan, maka LKM minimal harus mampu menutup biaya dana yang mahal + biaya operasional yang tinggi + biaya cadangan risiko yang tinggi. Jika LKM tidak lagi mampu menutup biaya-biaya itu, maka dipastikan LKM akan mengalami kerugian dan kebangkrutan dalam jangka yang sangat pendek.

Jika LKM banyak yang bangkrut dan tutup, lalu siapa lagi yang akan memberikan akses finansial bagi masyarakat mikro – kecil?

5.       LKM bukan lembaga sosial.
LKM adalah lembaga bisnis yang fokus melayani akses finansial kepada masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga harus mampu menghidupi dirinya sendiri dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Berbeda dengan lembaga sosial yang sangat tergantung dengan sumbangan para dermawan ataupun donor dan penyaluran sumbangannya bersifat bantuan untuk menyokong orang lain bertahan hidup sementara –bukan untuk menyokong usaha yang dapat menghidupi pelaku usaha mikro kecil.

Pertanyaan kritis mungkin timbul, mengapa bank-bank umum yang memiliki sumber dana murah dan memiliki biaya operasional yang rendah karena skala bisnisnya besar masih saja menetapkan bunga mahal bagi masyarakat mikro kecil? Terlebih, bank-bank umum itu selalu bangga menjadi juara dalam mencetak laba…. Mari kita tanyakan kepada penguasa, apakah mereka lebih suka membantu kaum duafa atau pemilik dana?