Rabu, 28 Agustus 2013

Tetap Bijak dan Waspada Menghadapi Merosotnya Rupiah

Permasalahan pengrajin tempe dan tahu yang terkena dampak merosotnya nilai tukar Rupiah sebenarnya masalah lama yang terus berulang. Selama mereka masih mengandalkan kedelai impor, masalah ini pasti akan berulang dan berulang lagi setiap kali nilai Rupiah merosot.
Berdasarkan data historis lima tahun terakhir, sesungguhnya tidak terlalu banyak usaha mikro kecil yang terkena dampak merosotnya nilai tukar Rupiah. Jika dilihat korelasinya dari statistik lima tahun terakhir, penurunan nilai tukar Rupiah memang berdampak pada kenaikan Non Performing Loan (NPL). Koefisien korelasi antara nilai tukar dengan NPL BPR sebesar 0,58, artinya ada kemungkinan yang cukup kuat jika nilai tukar Rupiah merosot maka NPL BPR meningkat.
Tetapi jika kita telaah lebih dalam lagi (lihat gambar grafik di bawah ini), kenaikan NPL yang disebabkan oleh penurunan nilai tukar Rupiah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir secara ekstrim terjadi pada akhir tahun 2008 dan awal 2009. Selanjutnya, hubungan antara nilai tukar Rupiah dengan NPL terlihat tidak memiliki korelasi yang kuat. Dimana ketika trend Rupiah menguat, NPL BPR menurun, tetapi ketika trend Rupiah kembali melemah NPL BPR tetap menurun.

Jika melihat data seperti itu, kita patut menduga meningkatnya NPL BPR di akhir tahun 2008 dan awal 2009 ketika nilai tukar Rupiah turun hingga diatas Rp. 12 ribu per US$, lebih dikontribusikan oleh kenaikan NPL BPR Tripanca Setiadana yang luar biasa ketika itu. Sebagaimana diberitakan oleh berbagai mass media, kenaikan NPL BPR Tripanca disebabkan oleh skandal kredit fiktif dan side streaming untuk kepentingan group usaha sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing tidak menyebabkan merosotnya kemampuan usaha mikro kecil membayar hutang. Fenomena jeritan pengrajin tempe tahu karena Rupiah melemah hanyalah spot kecil bagi keuangan mikro kecil. Namun demikian, bukan berarti melemahnya Rupiah dapat dipastikan tidak akan berdampak pada kenaikan NPL BPR, karena kita tidak bisa melihat kemungkinan terjadinya skandal seperti BPR Tripanca hanya dengan kacamata awam –hanya melihat dari permukaan.
Yakinlah jika seluruh pengelolaan BPR dilakukan secara proper, maka melemahnya Rupiah tidaklah akan membawa musibah…

Sabtu, 24 Agustus 2013

Dampak Depresiasi Rupiah terhadap Ekspansi Kredit Mikro Kecil

Banyak pengamat dan pelaku menyebutkan bahwa usaha mikro-kecil pada umumnya tahan terhadap krisis ekonomi, termasuk kedap terhadap fluktuasi nilai tukar Rupiah. Berdasarkan data empiris (termasuk kejadian tahun 1998 dan 2008), premis itu benar adanya. Hal itu menunjukan bahwa masih lebih banyak pelaku usaha mikro dan kecil di Indonesia yang tidak menggantungkan diri dengan pinjaman dari perbankan.

Artinya, masih banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang dapat survive tanpa bergantung dengan sumber permodalan dari perbankan, atau lembaga lain yang mudah mudah terkena dampak perubahan ekonomi makro.
Lain halnya dengan lembaga keuangan mikro yang melayani usaha mikro dan kecil (dalam hal ini direpresentasikan dengan data BPR), fluktuasi pergerakan kurs ternyata memiliki response yang cukup signifikan terhadap ekspansi kredit mikro kecil dari lembaga keuangan mikro. Setiap terjadi penurunan nilai (depresiasi) Rupiah pertumbuhan bulanan (month on month) kredit kepada usaha mikro kecil mengalami perlambatan 45% (berkorelasi negatif 0,45 terhadap pertumbuhan kredit m-o-m). Sedangkan pengaruh depresiasi Rupiah terhadap pertumbuhan kredit satu tahunan (year on year) hanya akan memperlambat 6% (berkorelasi negatif 6% dari pertumbuhan kredit y-o-y).
Namun demikian, jika depresiasi Rupiah terus berlanjut maka perlambatan kredit akan terus terjadi dalam waktu 7 – 8 bulan dengan perlambatan hingga 80% lebih.


Dengan situasi fluktuasi Rupiah yang gonjang gajing seperti saat ini, dimana Rupiah sempat terdepresiasi hingga level  Rp. 11 ribu per USD, akankah berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit mikro kecil? Bisa ya bisa tidak.
Jika depresiasi Rupiah berlanjut dan diiringi dengan penurunan likuiditas pasar, sehingga perbankan menurunkan kucuran kredit linkage kepada lembaga keuangan mikro, maka dapat dipastikan ekspansi kredit mikro kecil akan mengalami perlambatan. Namun sebaliknya, jika depresiasi hanya berfluktuasi sesaat yang tidak menyebabkan melemahnya likuiditas secara signifikan, maka depresiasi Rupiah hanya akan ada koreksi minor terhadap pertumbuhan kredit mikro kecil.
Melihat situasi belakangan ini, besar kemungkinan depresiasi Rupiah masih akan terus berlanjut dan likuiditas di pasar masih cenderung 'mengering'. Oleh karena itu, ekspansi kredit mikro kecil dalam tujuh bulan mendatang secara teoritis cenderung akan mengalami perlambatan. Mari kita doakan saja agar badai itu cepat berlalu…

Minggu, 18 Agustus 2013

Memahami Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (UU LKM) Secara Singkat


Banyak hal baru yang tercantum dalam UU LKM (UU No. 1 Tahun 2013). Mungkin saja karena ini kali pertama industri LKM diregulasi secara menyeluruh. Definisi LKM pun yang sebelumnya simpang siur, tergantung dari sudut mana kita melihat, kini telah dinyatakan dengan lebih jelas.

Dalam UU itu LKM didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.

Badan hukum LKM harus berupa koperasi atau perseroan terbatas (PT), dimana jika bentuk badan hukumnya berupa PT, maka kepemilikan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota atau Badan Usaha Milik Desa / Kelurahan minimal harus 60%. Cakupan wilayah usahanya pun ditentukan apakah dalam satu desa/kelurahan, satu kecamatan atau satu kabupaten / kota saja, jika wilayahnya sudah melewati batas kabupaten / kota maka LKM dipersilahkan menjadi bank saja.
Dalam hal memberikan pinjaman atau pembiayaan, maka suku bunga atau imbal hasilnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan untuk memberikan kenyamanan bagi para penabung atau deposan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan LKM itu sendiri dapat membentuk lembaga penjamin simpanan di LKM.

Pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi dalam pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota. Namun demikian jika Pemerintah Kabupaten / Kota belum siap menerima delegasi, maka OJK dapat menunjuk lembaga lain. Sedangkan laporan keuangan LKM diharuskan untuk dikirim ke OJK setiap 4 bulan sekali.
Dalam aturan peralihannya, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku, tetapi dalam kurun waktu setahun tersebut wajib mendaftarkan ulang untuk memperoleh izin dari OJK.

Bagaimana mengartikan UU LKM ini?
Ada beberapa hal yang menarik untuk dieksplor lebih lanjut dari UU LKM ini. Pertama, definisi LKM sepertinya mirip dengan definisi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) menurut UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, hanya saja cakupan kegiatannya diperluas, dan diberikan embel-embel ‘tidak semata-mata mencari keuntungan’. Hal ini tentu agak terbalik dengan semangat UU Perkoperasian yang justru mempertegas kegiatan KSP yang hanya boleh melakukan kegiatan simpan dan pinjam saja. Semangat ini sesungguhnya dapat diterima dengan baik oleh para praktisi KSP, karena selain untuk meningkatkan akuntabilitas, juga untuk meningkatkan metode penilaian (rating) yang wajar bagi KSP.


Di sisi lain, dalam sejarah LKM di Indonesia dan bahkan best practice internasional telah membuktikan bahwa keberlanjutan / sustainabilitas layanan LKM untuk tetap dapat melayani masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah justru didukung dengan adanya keuntungan (profit). Hanya LKM yang profit-lah yang bisa mandiri, tumbuh, berkembang dan sustain. Sustainability itulah yang sesungguhnya memberikan dampak pada pemberdayaan. Tetapi jika pemberdayaan lebih diutamakan, maka bisa-bisa kegiatan LKM nantinya justru menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kedua, rezim pengaturan LKM yang berbadan hukum koperasi besar kemungkinan cukup menimbulkan loop hole dalam pelaksanaannya. Di dalam UU Perkoperasian yang baru jelas ditegaskan bahwa pada setiap Anggaran Dasar (AD) Pendirian Koperasi wajib mencantumkan salah satu dari 4 jenis koperasi yang akan dipilih yaitu, koperasi konsumen, produsen, jasa atau simpan pinjam. Untuk pendirian LKM seharusnya menyatakan sebagai KSP. Nah, disinilah letak tumpang tindihnya, ketika LKM memilih KSP yang dituangkan di dalam AD, maka LKM tersebut harus tunduk terhadap Peraturan Menteri Koperasi sesuai dengan amanat UU Perkoperasian. Namun di sisi lain, kegiatan usaha LKM harus tunduk kepada Peraturan OJK. Untuk hal ini perlu perumusan lex generalis lex specialis yang matang agar tidak dimanfaatkan oleh “kutu loncat”.

Ketiga, dilihat dari cakupan usaha dan wilayah usahanya, LKM memang didesain sebagai lembaga keuangan yang dibonsai untuk tidak menjadi besar. Hal ini sepertinya bertentangan dengan prinsip bisnis sebuah lembaga keuangan yang mengikuti the law of the large numbers. Semakin lembaga keuangan itu kecil maka semakin lembaga tersebut mudah goyah (vulnerable), seperti mudah terkena resiko likuiditas, resiko strategis, resiko kredit, dan resiko reputasi. Yang jelas, harus ada pengaturan sedemikian rupa sehingga skala ekonomis LKM mampu menciptakan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) yang ideal.

Keempat, jika suku bunga pinjaman atau immbal hasil pembiayaan LKM diatur (dengan kecenderungan untuk dilakukan cap  dengan batas bunga maksimal), maka profitabilitas dan sustainabilitas LKM itu sendiri menjadi tanda tanya besar. Bagaimana LKM bisa menutupi biaya dana dan overhead-nya jika pendapatannya dibatasi. Biaya dana LKM yang berasal dari simpanan tentu akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya dana bank, baik bank umum maupun BPR. Terlebih simpanan di bank umum dan BPR jelas mendapatkan penjaminan dariLembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dan dilengkapi dengan berbagai fitur untuk kemudahan bertransaksi. Artinya, LKM harus mampu menghimpun dana dari masyarakat dengan pendekatan khusus agar tidak terbebani biaya dana yang tinggi.
Di sisi lain, jika LKM tidak mampu mencapai skala ekonomis yang ideal, maka biaya overhead suatu LKM akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bank umum atau BPR. Jika beban LKM begitu tinggi, mengapa lending rate-nya harus diatur? Bank umum, BPR dan bahkan KSP pun tidak diatur dalam menentukan bunga kreditnya.

Kelima, dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan LKM, OJK dapat mendelegasikan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota. Hal ini justru dapat menimbulkan permasalahan baru, karena jika kepemilikan LKM minimal enam puluh persennya dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten / Kota maka pengawasan oleh dirinya sendiri cenderung tidak akan efektif. Belum lagi terbukti bahwa pengawasan kepada KSP di masing-masing wilayah saja hingga saat ini masih belum berjalan efektif. Selain minimnya standar perangkat pengawasan dan pembinaan juga masih terbatasnya kapasitas Pemerintah Kabupaten  / Kota untuk melakukan pengawasan. Masih harus ada mekanisme lain yang ditempuh agar pengawasan ini akan efektif.

Keenam, peralihan dari lembaga-lembaga yang selama ini dianggap sebagai LKM, seperti BKK, BUKP, KURK, Bank Desa, dan sebagainya umumnya saat ini mereka telah berubah menjadi BPR melalui dorongan dari UU Perbankan No. 7 Tahun 1992. Justru masih banyak lembaga-lembaga bentukan Pemerintah melalui berbagai program, seperti UED-SP (Unit Ekonomi Desa – Simpan Pinjam), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) yang saat ini digunakan untuk mendukung PNPM – Mandiri, LEPM3 (Lembaga Ekonomi Pengelolaan Pesisir Mikro Mitra Mina) dan lembaga-lembaga lainnya tidak teridentifikasi untuk melakukan penyesuaian terhadap UU LKM. Justru lembaga-lembaga itulah yang sesungguhnya mendekati definisi LKM dalam undang-undangnya. Dimana sumber pendanaan lembaga-lembaga bentukan program pemerintah itu banyak yang berasal dari anggaran pemerintah, dan dalam kegiatannya tidak semata-mata mencari keuntungan.

Masih banyak hal yang perlu kita benahi bersama-sama agar implementasi UU LKM ini berjalan baik dan efektif sesuai dengan tujuan mulia dari UU tersebut.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Menebak Musim Sibuk Keuangan Mikro

Musim sibuk (peak season) keuangan mikro baru saja usai seiring dengan berakhirnya bulan Ramadhan dan Lebaran. Apakah siklus keuangan mikro dan musim sibuk tahun depan akan terulang? Wallahualam!

Berdasarkan data statistik 5 tahun kebelakang (dari tahun 2008), ternyata peak season tidak selalu jatuh pada bulan Ramadhan atau bulan menjelang Ramadhan tiba. Pada tahun 2008, peak season yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan Kredit Yang Diberikan (KYD) tertinggi (incremental KYD terbesar), terjadi pada bulan Mei 2008 sedangkan Lebaran jatuh pada tanggal 2 Oktober 2008. Tetapi mungkin saja perlambatan ekspansi kredit menjelang lebaran tahun 2008 disebabkan oleh ketatnya likuiditas yang dimiliki oleh lembaga keuangan mikro, dimana ketika itu skandal BPR Tripanca Setiadana - Lampung baru mulai terungkap pada awal kwartal IV/2008 yang berdampak pada terhentinya kucuran kran linkage dari bank umum dan lembaga pembiayaan lainnya kepada BPR dan lembaga keuangan mikro lainnya.

Sumber: Bank Indonesia (diolah)

Lebaran tahun 2009 jatuh pada tanggal 21 September, sedangkan peak season terjadi pada bulan Agustus 2009, dimana sebagian hari dari bulan Agustus 2009 merupakan bulan menjelang Ramadhan dan sepertiganya merupakan bulan Ramadhan. Wajar jika demand kredit bagi pelaku usaha mikro dan kecil, serta masyarakat berpenghasilan rendah meningkat pada bulan Agustus 2009.
 
Siklus kredit keuangan mikro tahun 2009 ternyata terulang kembali pada tahun 2010, dimana Lebaran jatuh pada 10 September 2010 dan peak season terjadi pada bulan Agustus 2010 yang kejadiannya mirip sekali dengan tahun sebelumnya.
 
Namunn siklus dua tahun tersebut tidak terulang di tahun 2011, dimana Lebaran jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011 tetapi peak season sudah terjadi dua bulan sebelumnya, yaitu pada bulan Juni 2011. Hal ini patut diduga peak season terjadi ketika tahun ajaran sekolah baru berganti, yaitu pada bulan Juni dan pada bulan Juli 2011 lebih banyak untuk liburan sekolah.
 
Bagaimana dengan tahun 2012 yang lebarannya jatuh pada tanggal 19 Agustus 2012? Ternyata siklus tahun 2011 terulang lagi pada tahun 2012, dimana peak season jatuh pada bulan Juni 2011 dengan situasi yang mirip dengan tahun sebelumnya. 
 
Sayangnya, data ekspansi kredit bulan Juli 2013 belum dirilis hingga hari ini, dimana bulan tersebut merupakan bulan menjelang Ramadhan dan setengahnya merupakan bulan Ramadhan. Namun jika kita menggunakan data hingga Juni 2013, maka peak season ternyata terjadi pada bulan Februari 2013 walaupun Lebaran jatuh pada tanggal 8 Agustus 2013. Sedangkan pada bulan Juni 2013 tidak tampak adanya ekspansi kredit yang signifikan (lebih rendah dibandingkan bulan Februari 2013). Ada apa gerangan dengan siklus kredit mikro tahun 2013 ini? Apakah ini juga disebabkan oleh ketatnya tingkat likuiditas di pasar? Belum terlalu tampak jelas.
 
Bagaimana dengan siklus bisnis kredit mikro tahun 2014, apakah sejarah akan berulang? Walauhualam! Yang jelas harus kita waspadai dengan adanya ketidakpastian politik, yang mungkin saja sedikit banyak akan berpengaruh terhadap berbagai kebijakan ekonomi, termasuk banyaknya janji-janji manis para elit dan calon elit negeri ini kepada masyarakat pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah serta masyarakat berpenghasilan rendah.
 

Rabu, 07 Agustus 2013

Zakat Fitrah dan Perbaikan NPF pada LKM Syariah

Malam ini kumandang takbir menggema di hampir seluruh pelosok. Umat muslim akan bersuka cita merayaka hari kemenangannya esok hari. Tetapi sebelum suka cita itu tiba, umat muslim diwajibkan untuk membayar zakat fitrah sebelum matahari terbit esok hari.

Secara kasar, besaran zakat umat muslim seharusnya sangat signifikan. Untuk zakat fitrah yang besarannya 2,5 kg beras yang kita makan sehari-hari kira-kira bisa terkumpul sekitar Rp. 5 triliun, dengan asumsi jumlah rumah tangga ada sekitar 60 juta dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang. Jika jumlah masyarakat miskin Indonesia ada sekitar 16 juta jiwa atau sekitar 4 juta keluarga, dan diasumsikan jumlah umat muslim 90%-nya, maka jumlah keluarga yang harus membayar zakat fitrah sebanyak 50,4 juta keluarga.

Dengan asumsi harga beras yang kita konsumsi sebesar Rp. 10 ribu / kg, maka setiap anggota keluarga seharusnya membayar zakat fitrah sebesar Rp. 25.000. Jadi dana zakat fitrah yang dapat dihimpun selama bulan Ramadhan minimal sebesar Rp. 5 triliun (Rp. 25.000 x 50,4 juta x 4 anggota keluarga).

Kemana zakat yang telah terumpul itu disalurkan? Sesuai dengan peruntukannya, zakat itu hanya dapat dibagi kepada delapan asnaf (golongan) yang berhak, antara lain: 1) Fakir; 2) Miskin; 3) Amil Zakat; 4) Mualaf; 5) Riqab (budak belian yang merdeka); 6) Gorimin (orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri dalam melaksanakan ketaatan dan kebaikan atau untuk kemaslahatan masyarakat); 7) Sabilillah; dan 8) Ibnusabil.
 
Asumsikan total zakat fitrah yang terkumpul dibagi delapan secara rata, sehingga masing-masing golongan dapat memperoleh seperdelapan atau sebesar Rp. 630 miliar. Nah, jika zakat yang diterima oleh golongan kaum gorimin dipergunakan untuk menyelesaikan hutang bermasalah di Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Baitul Qirad (BQ) atau Baitul Tamwil Muhammadyah (BTM) ataupun di Bank Syariah, baik BPRS maupun bank umum, maka hal itu akan membantu perbaikan kinerja LKM Syariah melalui penurunan Non Performing Financing (NPF).
 
Jika hal itu dibenarkan secara syariat agama, maka sutainabilitas LKM Syariah seharusnya akan jauh lebih baik, karena potensi zakat fitrah dan zakat maal (harta) konon diperkirakan mencapai Rp. 200 triliun lebih. Artinya, ada sekitar Rp. 25 triliun potensi dana umat setiap tahunnya untuk mendukung perbaikan kinerja LKM Syariah agar mereka tetap terus dapat melayani umat lebih besar dan lebih baik lagi... Semoga! Selamat Idul Fitri 1434H, Minal Aidzin wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan bathin.

Selasa, 06 Agustus 2013

Lebaran Tiba Di Musim Kekeringan Likuiditas

Dalam siklus keuangan mikro Indonesia, biasanya menjelang hingga pertengahan bulan Ramadhan merupakan masa-masa sibuk bagi pelaku keuangan mikro. Pasalnya permintaan kredit modal kerja serta penarikan tabungan dan deposito umumnya meningkat cukup signifikan pada masa itu.

Permintaan kredit modal kerja bagi pengusaha mikro, yang banyak didominasi oleh sektor perdagangan, umumnya meningkat akibat tingkat permintaan dari konsumen masyarakat menengah bawah meningkat dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan dan Lebaran. Permintaan juga digerakan oleh kaum urban yang mudik sekaligus sebagai pemicu meningkatnya peredaran uang di daerah.

Di sisi lain para penabung dan deposan umumnya juga melakukan penarikan tunai yang lebih besar dibandingkan hari-hari diluar musim Lebaran ini. Bahkan sebagian dari masyarakat menengah bawah sengaja menabung selama satu tahun penuh dan memanfaatkannya pada saat Lebaran tiba.

Sayang musim sibuk bagi para pelaku keuangan mikro kali ini menjadi kurang maksimal karena dunia lembaga keuangan sedang menghadapi likuiditas yang semakin ketat. Ketatnya likuiditas tersebut seolah juga diamini oleh Bank Indonesia dengan menaikan BI Rate sebesar 75 basis point menjadi 6,5%.

Apa yang dilakukan oleh para pelaku keuangan mikro ketika permintaan kredit meningkat tetapi sumber dananya / likuiditasnya menipis? Perhatikan grafik Perkembangan kegiatan usaha BPR sebagai representasi dari pelaku keuangan mikro bahwa untuk menopang ekspansi kreditnya, BPR pada umumnya mengandalkan penarikan dananya di bank umum sekaligus meningkatkan perolehan dana linkage dari bank umum yang lebih besar.

Dalam kurun waktu Januari - Juni 2013, ekspansi kredit BPR meningkat sekitar Rp. 6 triliun, namun pertumbungan dana murahnya dalam bentuk tabungan dan deposito hanya tumbuh hampir Rp. 1 triliun. Untuk menutupi kekurangannya untuk menopang pertumbuhan kreditnya, BPR menarik dana likuiditasnya yang disimpan di bank umum hingga sebesar Rp. 2,3 triliun dalam kurun waktu yang sama ditambah perolehan fasilitas linkage dari bank umum sebesar Rp. 2,2 triliun. Sedangkan sisanya ditutupi dari penyaluran kembali dana yang masuk dari angsuran. Fasilitas linkage dari bank umum kepada BPR yang selama ini berada pada kisaran 15% saat ini telah melampaui angka 20%.

Hal tersebut di atas dikarenakan adanya perlambatan pertumbuhan sumber dana murah atau dana pihak ketiga dari masyarakat yang hanya tumbuh sekitar 2% dalam waktu 5 bulan terakhir. Jika kondisi ini berlanjut terus untuk jangka waktu yang cukup lama, maka dapat dipastikan ketergantungan BPR pada bank umum semakin meningkat, dan sudah barang tentu biaya dana BPR yang berasal dari bank umum juga meningkat akibat tingginya.

Ujungnya ada dua pilihan, apakah BPR bersedia menurunkan marjin keuntungannya atau para pelaku usaha mikro kecil yang akan dibebani dengan bunga yang lebih besar?  Kita tunggu jawabannya setelah masa Lebaran usai... Selamat Idul Fitri 1434H, Mohon Maaf Lahir Bathin.