Sabtu, 28 Juni 2014

Waralaba Bank untuk Sebuah Fairness

Jika kita melihat toko kelontong dengan nama “Alfamart”, “Indomaret”, “7Eleven”, “CircleK” dan sejenisnya, di otak kita langsung terasosiasikan dengan warung franchise atau waralaba. Franchisee atau terwaralaba umumnya warga masyarakat sebagai pemodal dan pengelolanya, sedangkan franchisor atau pewaralaba adalah wholeseller atau aggregator dari berbagai item products serta menyediakan policy and procedure atau standar operasional dan prosedur (SOP) serta modul-modul pelatihan bagi karyawan yang akan menjalankan outlet retailers tersebut.

Di situlah kerjasama mutual, wholeseller membutuhkan outlet-outlet retailers  yang banyak dan luas untuk mendistribusikan produk-produknya hingga ke konsumen akhir, sedangkan retailers membutuhkan pasokan produk yang kontinyu untuk menjaga kenyamanan komsumen. Ujungnya adalah terjadi redistribusi pendapatan.

Bagaimana dengan lembaga keuangan, mungkinkah sebuah lembaga keuangan diwaralabakan?
Kenapa tidak? Jika kita menilik system perbankan yang ada saat ini, betapa masyarakat kita lebih menjadi obyek konglomerasi lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non bank, yang pada umumnya dimiliki oleh pemodal-pemodal asing. Lihat saja salah satu contoh bank yang dimiliki konglomerat Singapura dengan leluasa bisa mengeruk keuntungan dari para pelaku usaha mikro dan kecil hingga ke pelosok-pelosok. Hal ini terjadi karena pendirian jaringan kantor bank umum relatif lebih mudah dibandingkan dengan pendirian sebuah BPR.

Untuk menghindari ekspolitasi besar-besaran dari pasar finansial Indonesia, tak salah jika kita belajar dari praktek-praktek perbankan yang mengedepankan keadilan (fairness) antara bank dengan masyarakat. Masyarakat tidak lagi hanya sebagai obyek, tetapi juga bisa bertindak sebagai subyek yang juga menikmati keuntungan dari penyelenggaraan bisnis bank.

Berdasarkan pengamatan dari 2 bank umum di Australia, yaitu Bank Of Queensland (BOQ) dan Bendigo and Adelaide Bank (Bendigo Bank), keduanya dapat dijadikan contoh dalam melaksanakan prinsip fairness. Keduanya adalah perusahaan public yang listed di ASX. BOQ telah mengembangkan program Owner Manager, dimana Branch Manager BOQ dapat bertindak sebagai pemilik cabang tersebut. Kini 30% dari produktivitas BOQ disumbangkan dari program Owner Manager tersebut. Alasan yang melandasi program tersebut adalah manajer cabang yang umumnya berasal dari masyarakat setempat tidak lagi hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai pemilik sehingga akan lebih mencintai cabang bank yang dioperasikannya. Selain itu, manajer yang juga sekaligus owner jauh lebih memahami masyarakat setempat, potensi pasar setempat, dan bersedia untuk menjangkau daerah-daerah sulit dijangkau oleh kantor pusat bank.

Sedikit berbeda dengan BOQ, tetapi memiliki esensi yang sama, Bendigo Bank juga telah lama mengembangkan konsep Community Bank® Branch, dimana cabang dari Bendigo Bank dapat dimiliki oleh masyarakat setempat yang hingga kini jumlahnya sudah mencapai 303 cabang di Australia. Cabang dimiliki oleh masyarakat setempat dan diprioritaaskan untuk membiayai masyarakat setempat, khususnya para pelaku usaha kecil menengah (UKM), hasilnya pun lebih banyak dinikmati oleh masyarakat. Inilah cara untuk memandirikan dan memajukan masyakarat di sana.
Bagaimana dengan Indonesia yang notabene “bukan” negara kapitalis / liberal? Belum terlalu banyak dan belum terlalu nyata prinsip fairness di industri keuangan. Masyarakat lebih banyak menjadi obyek industri keuangan yang terus “dihisap” keuntungannya. Lihat saja, para pelaku usaha mikro yang dibiayai bertahun-tahun oleh bank-bank yang membuka outlet di pelosok-pelosok masih saja “miskin”, sementara para pemilik bank beserta para eksekutifnya mendapatkan keuntungan yang sangat besar luar biasa! Lihat saja ukuran Net Interest Margin (NIM) mereka yang melayani masyarakat mikro… Wow!


Bayangkan jika suatu ketika nanti, kantor cabang Danamon Simpan Pinjam (DSP) di Pasar Kranji dimiliki oleh seluruh pedagang pasar Kranji, BRI Unit di Pasar Ambal dimiliki oleh para pedagang di pasar Ambal, KCP Bank Pundi di Payakumbuh dimiliki masyarakat setempat, ULaMM yang di Pasar Ulee Kareng dimiliki oleh para pedagang di pasar tersebut, dan seterusnya…. Semoga waralaba lembaga keuangan Indonesia akan menjadi kenyataan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih baik lagi. Amin.

Minggu, 04 Mei 2014

KSP oh KSP.....!!

Merujuk pada UU Perkoperasian yang  terbaru (UU No 17/2012), keberadaan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) rupanya akan menjadi istimewa, karena setidaknya aka nada 2 lembaga baru yang menyertainya. Pertama adalah dimungkinkannya adanya Lembaga Penjamin Simpanan KSP dan kedua akan dibentuknya Lembaga Pengawasan KSP. Tentu keistimewaan itu harus menjadi pemicu bagi KSP untuk terus maju dan profesional.

Mungkin Pemerintah bersama OJK saat ini sedang melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dalam perumusan Peraturan Pemerintah beserta perangkat turunannya, mengingat LKM yang berbadan usaha Koperasi juga memiliki kegiatan utama yang tidak berbeda dengan KSP.

Mengingat bank-bank umum juga didorong untuk melayani sektor UMKM melalui PBI No. 14/22/PBI/2012, dimana minimal portofolio kreditnya harus 20% untuk UMKM terhitung sejak tahun 2018 nanti, maka pertanyaannya apakah masih ada prospek baik bagi KSP atau LKM nanti? Belum lagi dengan diterapkannya konsep bank tanpa cabang (branchless banking) yang  berbasis teknologi, masihkah KSP atau LKM mampu bersaing dengan bank umum?

Hasil observasi dari beberapa praktisi perkoperasian, mereka masih memiliki optimisme untuk berkembang mengingat pasar UMKM masih sangat besar dan juga terus tumbuh dan berkembang. Namun demikian, mereka juga memiliki berbagai strategi tersendiri untuk menghadapi persaingan dengan bank umum.

Bahkan yang lebih menarik, saat ini mulai banyak KSP yang didirikan secara professional –yang didukung dengan system dan SDM yang memadai justru disiapkan untuk bekerjasama dengan bank-bank umum dalam rangka penyaluran kredit secara channeling. Dengan kata lain, KSP-KSP itu didirikan memang untuk mengais fee based income dari kerjasama dengan bank umum. Wow! Why not daripada menanggung risiko sendiri dan harus bermodal besar. Kedepan, KSP-KSP semacam ini akan banyak dicari oleh bank-bank umum untuk ekspansi kredit UMKM sekaligus mengalihkan beban belanja modal (capex) dan biaya operasional (opex) –mengingat standar operasional bank jauh lebih complicated dan mahal.

Jadi, kini saatnya untuk membangun KSP yang professional dan sehat untuk membantu bank-bank umum menjangkau UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah…

Kamis, 01 Mei 2014

Memilih Alternatif Delivery Channel untuk Merebut Pasar UMKM

Menyambung tulisan “BagaimanaStrategi Menghadapi Banjir Kredit UMKM?” (31 Oktober 2013), dimana untuk memenuhi kewajiban yang tertuang dalam PBI No. 14/22/PBI/2012 bank-bank umum selain dapat membangun sendiri jaringan layanan mikro-kecil juga dapat melakukan “coopetition” dengan BPR dan atau lembaga keuangan mikro lainnya. Alternatif mana yang paling tepat untuk memenuhi kewajiban itu?


Berikut ini perkiraan-perkiraan yang dari beberapa sumber yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan alternatif mana yang paling pas dengan lembaga kita.


Membangun Unit Layanan Mikro-Kecil Sendiri
Kerjasama Linkage dengan BPR atau LKM Lainnya
Pola Executing
Pola Channeling
Pola Joint Financing
Kebutuhan Investasi (Capital Expenditure / CAPEX)
Untuk membangun outlet lengkap dengan sarana dan prasarananya berkisar antara Rp. 150 – 250 juta
Tidak perlu Capex
Tidak perlu Capex
Tidak perlu Capex
Kebutuhan tambahan biaya operasional (OPEX) per outlet
·     Biaya Tenaga Kerja (BTK) untuk 5 – 7 orang per outlet berkisar Rp. 35 – 45 juta per bulan.
·     Sewa kantor, utilitas dan aktivitas berkisar Rp. 25 – 35 juta per bulan.
Tidak perlu Opex tambahan (cukup ditangani oleh unit kerja kredit yang ada)
Perlu pembentukan unit kerja khusus untuk memastikan kebenaran data, proses analisa dan persetujuan kredit, monitoring, dan pembagian fee, dengan perkiraan biaya tambahan sebesar Rp. 60 – 100 juta per bulan.
Tidak perlu pembentukan unit kerja khusus, tetapi perlu penambahan SDM untuk percepatan proses agar sejalan dengan waktu layanan yang dilakukan oleh BPR atau LKM Lainnya. Perkiraan tambahan Opex sebesar Rp. 30 – 50 juta per bulan.
Suku bunga kredit
30% - 36% pa. eff.
12%  – 14% pa. eff.
30% - 36% pa. eff.
24% - 30% pa. eff.
Fee keagenan
Tidak ada
Tidak ada
5% - 7%
4% - 6%
Kapasitas
Rp. 8 – 10 miliar
Tak terbatas
Tergantung kapasitas BPR / LKM Mitra
Tergantung kapasitas BPR / LKM Mitra
Kelebihan
Pendapatan lebih besar

Pertumbuhan portofolio kredit lebih cepat
Biaya opex relatifrendah
Biaya opex relative rendah
Kekurangan
Harus dilakukan secara massal, dengan Capex dan Opex yang mahal dan membutuhkan banyak SDM.
Pendapatan bunga kecil
Tergantung dengan BPR / LKM Mitra
Tergantung dengan BPR / LKM Mitra

Dari perbandingan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, untuk pengembangan outlet layanan mikro-kecil lebih tepat dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan yang memiliki cukup dana –untuk memenuhi kebutuhan Capex dan Opex.

Untuk Linkage dengan pola Executing sangat tepat bagi bank umum atau lembaga pembiayaan yang memiliki sumber pendanaan dengan biaya rendah mengingat lending rate-nya relatif rendah. Jika biaya dana yang digunakan relative tinggi maka spread margin atau net interest margin (NIM) nya akan sangat tipis sehingga membutuhkan volume yang sangat besar untuk mencapai skala ekonomis.

Pola Channeling dan Joint Financing jauh lebih menarik, dimana pendapatan jauh lebih besar namun biaya relative terkontrol. Namun demikian, pola-pola ini rawan dispute mengingat ada dual process dan  administrasi. Selain itu, bank umum atau lembaga keuagan akan sangat tergantung dengan kinerja BPR atau LKM yang menjadi mitranya. Harus diawali dengan membangun kepercayaan yang sangat kuat, serta adanya kesepakatan teknis dan proses, legal, dan bisnis yang saling menguntungkan.
Selamat memilih!

Jumat, 18 April 2014

LKM, Branchless Banking, Apex Bank dan Keuangan Inklusif

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berdasarkan UU No 1 Tahun 2013 jelas memiliki semangat untuk memberikan layanan finansial bagi masyarakat miskin dan/atau masyarakat berpenghasilan rendah seluas-luasnya, mengingat masih terdapat gap yang besar antara demand dan supply layanan financial bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan kata lain, lembaga-lembaga keuangan yang berada dalam sistem keuangan nasional selama ini masih lebih banyak melayani masyarakat kelas atas. Dampaknya, masyarakat berpenghasilan rendah lebih banyak mengakses layanan finansial dari lembaga-lembaga informal yang belum memiliki legal standing yang jelas. Nah, kehadiran UU No 1/2013 itu juga dimaksudkan untuk menertibkan lembaga-lembaga keuangan mikro non formal yang selama ini telah beroperasi.

Dilihat dari beberapa aspek dalam UU No 1/2013 LKM itu secara prinsip mirip sekali dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), intinya dapat menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pinjaman / pembiayaan. Yang membedakan, LKM dapat memberikan jasa pengembangan usaha tetpi wilayah usahanya lebih sempit, sedangkan BPR hanya dapat menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat saja tetapi cakupan wilayahnya sedikit lebih luas (dalam wilayah propinsi).

Pembatasan wilayah usaha tersebut secara common sense pasti akan membatasi size LKM itu sendiri. Hal ini sebenarnya agak bertentangan dengan prinsip the law of the large numbers sebuah lembaga keuangan. Dimana, semakin kecil ukuran lembaga keuangan, baik dari sisi nilai rupiah maupun jumlah pelanggannya, maka lembaga keuangan tersebut semakin berisiko. Di sisi lain, jika LKM diharapkan beroperasi secara ideal sesuai harapan undang-undangnya, maka LKM membutuhkan resources yang lengkap dan tentu biaya operasionalnya akan menjadi costly (sangat mahal / tidak efisien) bagi lembaga keuangan yang size-nya kecil atau sangat kecil.

Untuk itu, perlu strategi jitu bagi LKM agar dapat mempertahankan laba (survice) dan berkesinambungan dalam melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Salah satunya adalah bekerjasama dengan bank umum –yaitu dalam bentuk keagenan (agency), baik dalam mobilisasi dana masyarakat maupun dalam penyaluran dana masyarakat. Dengan pola keagenan teresebut, LKM dapat mencapai skala ekonomis dengan lebih cepat sehingga akan tercapai operasional yang efisien sekaligus dapat menurunkan eksposur risiko –terutama risiko likuiditas dan risiko kredit. Bentuk keagenan ini secara teknis dapat berupa co-branding dengan produk bank umum ataupun keagenan dalam rangka pelaksanaan konsep branchless banking, ataupun hanya sekedar pembiayaan dengan pola channeling dan pemanfaatan fasilitas rekening  virtual bank umum.

Bank umum mana yang peduli LKM? Idealnya, bank umum yang fokus melayani LKM –atau yang disebut juga Apex – LKM atau juga bisa disebut sebagai lembaga pengayom atau bank sentral bagi LKM. Inilah yang sebenarnya diharapkan dalam Milenium Development Goals (MDGs) – yang dicanangkan oleh PBB, yaitu terbentuknya Financial  Inclusion System (sistem keuangan inklusif) untuk memberikan akses layanan finansial bagi masyarakat miskin dan atau masyarakat berpenghasilan rendah.
Untuk mewujudkan mimpi mulia tersebut tentu diperlukan langkah-langkah konkrit dari semua pihak. Dari aspek regulasi telah cukup sebagai landasan hukum (macro level), namun dari pengembangan sistem pendukung dan infrastruktur (meso level) yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah masih belum cukup memadai. Di sisi lain, pada tingkat pelaksanaan (micro level) masih banyak ketentuan-ketentuan yang kurang sejalan dengan semangat pada tingkat makro (political will). Sebagai contoh, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai ketentuan tentang apex bank, micro-insurance, micro-investment dan transaksi finansial lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dengan segala keunikan perilakunya.

Semoga tulisan ini dapat mendorong terwujudnya mimpi mulia, yaitu mengentaskan kemiskinan di Indonesia melalui akses finansial yang lebih baik. 

Senin, 14 April 2014

Lembaga Keuangan Syariah (LKMS) Lebih Tepat untuk Pengentasan Kemiskinan

Transaksi keuangan syariah bukan milik masyarakat muslim secara ekslusif, tetapi berlaku universal di seluruh pelosok dunia –dengan mengedepankan transparansi, keadilan dan berdasarkan cash basis.

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menerapkan prinsip syariah, seperti BPR Syariah (BPRS), KSP Syariah / Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Baitul Qiraad (BQ), dan sebagainya –umumnya memiliki produk yang relatif lengkap dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.

Bagi masyarakat yang tergolong fakir miskin (poor of the poor) yang tidak memiliki kecukupan penghasilan dan kemampuan membayar angsuran hutang, mereka dapat memperoleh fasilitas Qordul Hasan (dana kebajikan). Fasilias ini berupa pinjaman dana (modal) kepada fakir miskin untuk berusaha tetapi kepadanya tidak diwajibkan memberikan keuntungan (bagi hasil) kepada penyedia fasilitas. Dengan demikian fasilitas ini tidak memberatkan bagi masyarakat yang relative sangat miskin. Hal ini sejalan dengan 11 prinsip keuangan mikro, khususnya prinsip ke-6, yaitu “Kredit Mikro Tidak Selalu Menjadi Jawaban” –dalam pengentasan kemiskinan.

Bagi masyarakat yang akan membeli barang tetapi kemampuannya terbatas sehingga  harus membayar dengan cara mencicil atau mengangsur, mereka dapat memperoleh fasilitas Bai’ Al Murabahah. Fasilitas ini dibuat secara transparan, dimana penyedia fasilitas menyebutkan besarnya margin yang diperoleh. Sebaliknya jika pembelian dimana barang baru akan diterima dikemudian hari dan pembeli harus memesan dengan membayar uang muka, maka mereka dapat memperoleh fasilitas Bai’ As-Salam.

Bagi para petani, mereka dapat memperoleh fasilitas Al-Muzara’ah (bagi hasil dari hasil panen) atau Al-Muzaqah (bagi hasil tertentu dari hasil panen –didasarkan atas tanggungjawab penyiraman dan pemeliharaan). Sedangkan bagi mereka yang menginginkan kerjasama usaha (joint venture), mereka bisa memperoleh Al-Musyarakah (bagi hasil berdasarkan jumlah modal dan kesepakatan bersama yang didasarkan atas pengelolaan usaha). Jika masyarakat meng Al-Mudarabah  (bagi hasil dengan rasio tertentu berdasarkan modal yang disertakan).

Masih banyak lagi bentuk-bentuk transaksi finansial dengan prinsip syariah, seperti Al-Ijarah (sewa-menyewa),  Al-Ijarah-Muntahia Bit-Tamlik (sewa guna / leasing). Ada juga Al-Wakalah (perwakilan), Al-Kafalah (memberikan jaminan / avalis), Al-Hawalah (asset sale), dan  Ar-Rahn (gadai).

Nah, yang paling menarik adalah ketika seseorang tidak mampu membayar hutang (ghorimin) –maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan bagian dari zakat untuk menyelesaikan kewajibannya. Tentu term and condition is applied.

Jika prinsip-prinsip syariah dijalankan secara konsisten, seharusnya tidak ada satupun LKMS yang menderita kerugian akibat terkena risiko kredit dan risiko pasar. Logikanya, LKMS tidak dibebani biaya dana di depan –tetapi hanya akan membagi keuntungan berdasarkan rasio yang disepakati (nisbah) dengan pemilik dana / investor / penabung / “deposan” / “kreditor”. Jika pembiayaannya bermasalah dan tidak memperoleh pendapatan bagi hasil dan / atau margin, maka LKMS tersebut juga tidak membagi keuntungan kepada  pemilik dana.


Semoga sekelumit pengetahuan ini dapat memperkaya alternative kita dalam menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah  lebih luas lagi. Amin.

Minggu, 13 April 2014

11 Prinsip Utama Keuangan Mikro


Sebelas prinsip keuangan mikro ini disepakati dan menjadi pedoman bagi CGAP (Consultative Group to Assist the Poor) yang terdiri dari 31 lembaga agen pembangunan di seluruh dunia, baik sektor  publik maupun swasta. Bahkan, sebelas prinsip ini telah diakui oleh negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok G8.

1. Masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan berbagai macam layanan keuangan, bukan hanya kredit saja. Untuk mendapatkan kredit, mereka juga umumnya ingin menabung, ikut asuransi, dan transfer uang.

2. Keuangan mikro sangat powerful untuk memerangi kemiskinan. Masyarakat berpenghasilan rendah memanfaatkan layanan finansial untuk meningkatkan pendapatannya, membangun aset (harta yang bermanfaat –untuk mendukung kelangsungan hidupnya), dan untuk berjaga-jaga apabila mereka terkena dampak jika terjadi masalah eksternal yang tidak terduga.

3. Keuangan mikro berarti membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Keuangan mikro akan berperan secara maksimal hanya apabila dapat terintegrasi dengan sistem keuangan suatu negara (country’s mainstream).

4.  Keuangan mikro harus dapat menghidupi dirinya sendiri, hal itu dapat terwujud apabila lembaga keuangan mikro menjangkau / melayani banyak masyarakat berpenghasilan rendah. Jika lembaga keuangan mikro tidak mampu menutupi biayanya sendiri, maka keberadan lembaga keuangan mikro akan sangat terbatas karena sumber pendanaannya hanya akan tergantung pada pemerintah dan donor yang penuh ketidakpastian.

5. Keuangan mikro berarti membangun lembaga keuangan lokal yang permanen, dimana lembaga keuangan lokal tersebut diharapkan mampu menarik simpanan bagi masyarakat sekitar –dan selanjutnya disalurkan kembali dalam bentuk kredit atau layanan finansial lainnya.

6. Kredit mikro tidak selalu menjadi jawaban.  Dukungan / bantuan dalam bentuk lain mungkin akan lebih tepat bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki kecukupan penghasilan dan atau kemampuan untuk membayar hutang.

7. Pembatasan suku bunga kredit akan “menyakiti” masyarakat berpenghasilan rendah karena mereka akan kesulitan dalam mengakses kredit. Biaya untuk pemberian kredit mikro memang lebih mahal dibandingkan kredit besar. Pembatasan suku bunga kredit mikro hanya akan membatasi kemampuan lembaga keuangan mikro menutupi biaya-biayanya, yang dapat mengancam kelangsungan usahanya. Apabila lembaga keuangan mikro banyak yang tidak mampu menjaga kelangsungan usahanya, maka supply kredit kepada masyarakat berpenghasilan rendah akan berkurang. Pada akhirnya masyarakat berpenghasilan rendah akan kesulitan mengakses kredit.

8.  Peran pemerintah seharusnya mendorong tumbuh dan berkembangnya layanan keuangan mikro, bukan menyediakan layanan mikro sendiri secara langsung. Pemerintah hampir dipastikan tidak pernah berhasil dalam mengelola kredit sendiri secara langsung, tetapi pemerintah memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan usaha yang baik melalui berbagai kebijakan.

9. Dana dari donor dan pemerintah seharusnya menjadi pelengkap pelaku keuangan mikro dari sektor swasta, bukan malah menjadi pesaing. Dana donors sebaiknya hanya mensubsidi  sementara pada tahap-tahap awal saja.

10. Kekurangan lembaga keuangan mikro yang kuat dan pengelola keuangan mikro yang professional menjadi “bottleneck.”  Peran nonor dan pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan kapasitas kelembagaan (capacity building).

11. Keuangan mikro dapat bekerja secara efektif ketika kinerjanya dapat diukur dan kinerjanya terbuka bagi publik umumnya, dan stakeholders khususnya. Pelaporan tidak saja memudahkan stakeholders mengukur biaya dan manfaat dari sebuah lembaga keuangan mikro, tetapi juga dapat dijadikan tolok ukur kinerja sebuah lembaga keuangan mikro. Setiap lembaga keuangan mikro seharusnya membuat laporan kinerja finansial dan kinerja social (social performance), seperti jumlah dan tingkat masyarakat miskin yang telah dilayani
.
 Tulisan ini disadur kembali dari buku “Access for All: Building Inclusive Financial System” (World Bank, 2004).

Minggu, 06 April 2014

Apex LKM, Indah Dibayangkan dan Enak Didiskusikan, Tapi Mengapa Susah Dijalankan?

Apex-LKM sering didefinisikan secara sederhana sebagai lembaga pengayom yang memberikan layanan khusus bagi LKM.

Sudah cukup lama dan cukup banyak kita berdiskusi tentang Apex-LKM di Indonesia karena jumlah LKM di Indonesia yang begitu masiv. Bahkan tidak sedikit diantara kita yang belajar tentang Apex Micro Finance Institution (MFIs) dari negara lain. Hingga kini, tidak juga sedikit lembaga yang telah memproklamirkan dirinya sebagai lembaga apex, walaupun belum sesempurna yang didiskusikan sehari-hari. Apa yang membuat implementasi Apex LKM di  Indonesia begitu “alot”?


Bandingkan dengan dua Apex Bank di Jepang, yaitu Norinchunkin Bank (sudah berumur lebih dari 90 tahun) dan Shinkin Central Bank (berumur lebih dari 63 tahun). Norinchunkin adalah lembaga keuangan berbasis koperasi  yang dimiliki oleh anggotanya, yaitu koperasi pertanian, koperasi perikanan, koperasi kehutanan, dan koperasi-koperasi lain yang terkait dengan pertanian, perikanan dan kehutanan –yang jumlahnya 3.808 (per September 2013).  Kegiatan utamanya hanya melayani jasa financial bagi anggotanya.

Sedangkan Shinkin Central Bank adalah bank sentral bagi koperasi simpan pinjam (shinkin bank) yang beroperasi secara regional dan khusus melayani usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di wilayah tertentu. Bank sentral ini juga dimiliki oleh anggotanya (shinkin banks) dan kegiatan utamanya hanya memberikan layanan finansial kepada anggotanya, sebanyak 268 shinkin banks.

Apex LKM di Indonesia
Belum terwujudnya Apex LKM di Indonesia lebih dikarenakan belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan – kepentingan – dan regulasi. Sebagai contoh, Bank Indonesia telah mengeluarkan Generic Model Apex BPR (yang bersifat tidak mengikat) dan telah mendorong BPD-BPD untuk menjadi Regional Champion Bank sekaligus menjadi apex bagi BPR-BPR yang berada di dalam satu propinsi. Namun dalam implementasinya belum menunjukan hasil yang maksimal sesuai dengan harapan Generic Model –nya, dimana Lembaga Apex  diharapkan dapat melakukan 3 fungsi utama: 1) pooled of funds; 2) penyedia likuiditas dan kredit linkage bagi BPR; dan 3) bantuan teknis (technical assistance). Belum maksimalnya implementasi Apex BPR dengan BPD setempat dikarenakan adanya “benturan kepentingan” dalam memperebutkan segmen pasar mikro – kecil.

Apex BPR yang diinisiasi sendiri oleh BPR-BPR dengan bekerjasama dengan Bank Andara –atau disebut sebagai ABB (Andara Bersama BPR) yang kini berada di DKI Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) –masih lebih fokus pada pengelolaan dana pooled of funds dan penyediaan dana likuiditas. Technical assistance masih lebih banyak berbentuk pelatihan BPR, daripada penyelenggaraan pengembangan dan pemasaran produk bersama, dan ataupun pemanfaatan infrastruktur bersama untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih baik bagi seluruh anggotanya.

Lambatnya implementasi Apex BPR yang mendekati ideal, dimana lembaga apex dapat dimiliki oleh BPR dan kegiatan usahanya lebih banyak melayani BPR karena belum adanya regulasi yang menjadi landasan. Secara regulasi BPR hingga saat ini hanya diperbolehkan menghimpun dana dan menyalurkannya dalam bentuk pemberian kredit, sehingga tidak dimungkinkan BPR memiliki saham di lembaga lain, termasuk apex bank untuk BPR.

Padahal, jika BPR dapat memiliki Bank Apex BPR sendiri, dan lembaga tersebut beroperasi seperti Norinchunkin Bank atau Sinkin Central Bank seperti di Jepang, maka dengan asumsi seluruh BPR anggota hanya diperbolehkan menempatkan dan menerima dana pinjaman dari Bank Apex terserbut –setidaknya  Bank Apex BPR dapat mengelola dana simpanan dari BPR sebesar Rp. 15,2 triliun (per Januari 2014) –yang selama ini disimpan berpencar-pencar di banyak bank umum dalam bentuk (Aktiva Antar Bank). Di sisi lain, Bank Apex tersebut juga berpotensi dapat menyalurkan kredit  kepada BPR mencapai Rp. 12,76 triliun (per Jan 2014), yang pada akhirnya keuntungannya akan kembali kepada BPR lagi dalam bentuk dividen atau benefit lainnya. Lebih dari itu, dengan bergabungnya BPR kedalam satu lembaga apex tentu penghimpunan dana pihak ketiga juga akan lebih dahsyat lagi –melalui penyediaan fasilitas teknologi dan pemasaran bersama.

Untuk merealisasikan Bank Apex BPR yang ideal tersebut tentu ada sejumlah pekerjaan rumah yag harus dibereskan terlebih dahulu, seperti regulasi, infrastruktur sebuah lembaga apex, serta semangat kebersamaan antar pelaku industri BPR –sebagaimana yang menjadi slogan Norinchunkin Bank “one for all, all for one”.

Apex Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
IKSP (Induk Koperasi Simpan Pinjam) yang dimiliki oleh anggotanya (KSP-KSP) sudah mendekati ideal. Namun, IKSP justru kehilangan prinsip “one for all, all for one” dari sebuah lembaga apex. IKSP tidak mampu mewajibkan seluruh KSP anggotanya untuk menempatkan excess liquidity di IKSP, dan sebaliknya IKSP juga tidak selalu mampu menyediakan dana likuiditas bagi setiap KSP anggota yang memerlukannya. Mengapa hal ini terjadi?

KSP anggota pada umumnya lebih membutuhkan likuiditas dari IKSP –mengingat kemampuan KSP dalam memobilisasi dana dari anggotanya sangat terbatas. Maklum, anggota KSP masih lebih suka menempatkan dananya di bank umum (karena lebih aman dan banyak fasilitasnya) –sedangkan untuk mendapatkan pinjaman lebih suka ke KSP (karena lebih longgar persyaratannya). Di sisi lain, IKSP tidak memiliki kecukupan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas KSP anggotanya. Walhasil, KSP mencari sendiri sumber pendanaan sendiri, baik dari bank umum ataupun lembaga keuangan lainnya.
Ketika IKSP juga mendapatkan sumber dana dari bank umum atau lembaga keuangan lainnya, maka sudah dipastikan pinjaman yang akan diberikan kepada KSP anggota akan jauh lebih mahal ketimbang KSP mengakses langsung ke bank umum atau lembaga keuangan lainnya tersebut.

Kini, IKSP akan terus kehilangan arah (disorientasi) –dan cenderung akan mati suri, terlebih ketika IKSP harus bersaing dengan badan layanan umum (BLU) LPDB (Lembaga Pengeloloa Dana Bergulir) Kementerian Koperasi & UKM. LPDB ssebagai penyalur dana “bersubsidi” banyak memberikan pinjaman kepada KSP-KSP, baik anggota IKSP maupun bukan anggota –dengan suku bunga subsidi yang pasti jauh lebih murah dari pinjaman IKSP.
Sekali lagi, keberadaan Apex KSP –seperti halnya Shinkin Central Bank di Jepang seharusnya mendapat dukungan dari Pemerintah alias harus ada political will yang kuat. Keberadaan Shinkin Central Bank bahkan diregulasi dengan undang-undang tersendiri sejak tahun 1950 –dan diawasi oleh Financial Services Authority (semacam OJK di Indonesia).  

Sebenarnya belum ada kata terlambat bagi Pemerintah untuk membenahi sistem Apex KSP. Katakanlah IKSP ditunjuk oleh Pemerintah sebagai Apex KSP –dengan regulasi khusus. Untuk memperoleh sumber pendanaan yang murah, IKSP dapat menerbitkan obligasi dengan stanby buyer LPDB. Melalui penerbitan obligasi itulah, IKSP juga dituntut professional dengan harus menjaga kinerjanya minimal pada posisi “investment grade”.  

Dengan demikian, IKSP tidak lagi harus bersaing tidak sehat dengan LPDB. Sedangkan LPDB seharusnya tidak lagi diperkenankan membiayai KSP secara langsung, tetapi difokuskan untuk membiayai koperasi Non KSP.

Semoga Pemerintahan baru yang dihasilkan Pemilu tahun 2014 ini memiliki political will yang kuat untuk memajukan industri lembaga keuangan mikro (LKM) –guna memberikan akses yang lebih luas lagi bagi masyarakat berpenghasilan rendah….